Sepupuku dan
Adiknya Masih Perawan
Waktu itu tahun 1996, bulan September,
aku baru saja pulang dari KKN di desa, di daerah Kabupaten Blora (sekarang
masuk Kabupaten Cepu), dua hari setelah sampai di rumah, ada telepon dari salah
satu sepupuku, katanya dia sedang Study Tour ke kotaku. Sepupuku ini masih
sekolah di SMUK di daerah Madiun, sebenarnya aku belum pernah bertemu langsung
dengan dia, jangan heran ya, sebab dia sepupu jauh sekali. Sepupuku ini baru
sempat bertemu dengan orang tuaku dan kakakku saja sewaktu mereka pergi ke
daerah asal sepupuku di Jawa Timur. Nah, ketika dia Study Tour ke kotaku, dia
ingin mampir dan menginap di rumahku, terus dia minta dijemput di depan salah
satu bank di dekat Jalan yang jadi trade marknya kotaku. Maka, aku bersama kakakku
menjemput dia.
Jam 4:25 sore, aku sampai di depan bank
tersebut. Mobil kuparkir, lalu aku bersama kakakku sambil membawa dua payung
menghampiri bis-bis yang diparkir di depan bank, agak lama juga aku mencari
sepupuku ini, maklum aku belum pernah bertemu dia dan kakakku sendiri agak lupa
dengan wajahnya. Setelah kurang lebih 5 menit, akhirnya bertemu juga. Kemudian
kami pulang ke rumahku, dia senang sekali bisa bertemu denganku. Awalnya dia
berencana mau menginap 1 hari tetapi kemudian dirubah jadi 2 hari. Sepupuku ini
tidak punya saudara laki-laki, jadi ketika kami bertemu, dia senang sekali dan
menganggap aku seperti kakak kandungnya. Selama dia menginap di rumah, dia
selalu ingin dekat denganku terus. Aku menganggap biasa-biasa saja dan tidak
ada pikiran lain.
Ketika dia mau pulang, dia mau pulang
sendirian, orang tuaku sepertinya tidak tega melepas dia pulang sendirian,
akhirnya aku disuruh mengantar dia pulang ke Jawa Timur, padahal waktu itu aku
sedang berobat jalan karena aku mengidap alergi serpihan kulit manusia (aneh
ya..? aku saja dulu tidak percaya). Aku harus datang ke dokter pribadiku setiap
hari Selasa dan Jum’at buat disuntik. Tetapi, menurutku tidak apa-apa karena
kupikir nanti jika sudah sampai di sana, aku langsung pulang saja pikirku.
Jadilah aku mengantar dia pulang ke Jawa Timur. O.. iya, sebelum terlalu jauh
aku bercerita, kuperkenalkan dahulu diriku, namaku Padi dan nama sepupuku Ana.
Di jalan kami bercerita tentang daerah asalnya yang ternyata ada di kawasan
pantai utara Jawa Timur.
Kami mampir ke Madiun dulu, karena
katanya dia mau mengambil baju-bajunya yang mau dibawa sekalian dicuci di
rumah. Sampai di Madiun, kira-kira pukul 5:00 sore, kami menuju tempat kosnya
yang sederhana di komplek Akabri. Setelah selesai dengan urusan di Madiun, kami
langsung pergi lagi meneruskan perjalanan. Di perjalanan, aku bertanya dengan
dia.
“Eh, An.. dari sini sampai ke kotamu berapa lama sih..?” tanyaku.
“Ya… mungkin kira-kira 8 jam Mas..” katanya.
Dalam hati aku berpikir, “Wah, bakalan capek di jalan nih.. sialan…”
“Eh, An.. dari sini sampai ke kotamu berapa lama sih..?” tanyaku.
“Ya… mungkin kira-kira 8 jam Mas..” katanya.
Dalam hati aku berpikir, “Wah, bakalan capek di jalan nih.. sialan…”
Waktu berlalu, kira-kira pukul 9 malam,
kami masih ada di atas bis jurusan ke kotanya. Malam itu kurasakan sangat
dingin, apalagi ditambah tiupan angin yang sangat kencang. Di dalam bis yang
lumayan penuh itu, aku duduk di kursi kedua dari belakang sejajar dengan Ana.
Pintu bis yang ada di sebelah kananku ternyata tidak bisa ditutup, karena
kuncinya rusak kata kernetnya. Ana yang merasa kedinginan terkena tiupan angin,
bingung mau bagaimana sebab dia tidak membawa jaket atau sweater buat
penghangat, sedangkan aku sendiri tidak masalah. Kemudian kutawarkan dia untuk
pindah tempat duduk di sebelah kananku, yah.. lumayan dia terlindung dari angin
oleh badanku.
Sekitar 10 menit setelah itu, dia bilang
katanya dia merasa mengantuk, aku tawarkan dia untuk tidur saja di pangkuanku.
Dia mau dan langsung dia rebahkan kepalanya di pahaku, waktu itu aku sebenarnya
agak kawatir dengan penumpang lainnya. Jangan-jangan ada yang berpikiran
macam-macam tentang kami, meskipun begitu aku akhirnya memutuskan untuk santai
saja. Si Ana dengan cepat tertidur dengan pulasnya, tanganku kutaruh di atas
punggungnya biar dia merasa lebih hangat. Tawaranku untuk tidur di pahaku
ternyata berbekas sekali di hati sepupuku ini, sepertinya dia merasa ada
sesuatu yang lain yang dirasakannya setelah dia merebahkan kepalanya di pahaku.
Mungkin karena dia masih anak SMU yang belum pernah merasakan kasih sayang dari
seorang cowok, tetapi kok ya kebetulan justru dengan kakak sepupunya sendiri.
Tidak terasa, bis telah memasuki terminal
di kotanya. Waktu itu jam 1 pagi. Kami langsung mencari becak untuk pulang ke
rumahnya. Sampai di rumahnya yang sederhana (bapaknya bekerja sebagai sipir
penjara dan ibunya guru SD), aku langsung disambut oleh Omku. Kami
berbincang-bincang sejenak sambil nonton MTV. Tidak lama kemudian, Omku minta
diri untuk tidur. Aku mempersilakan Omku untuk tidur. Aku sendirian yang belum
merasa mengantuk dan meneruskan melihat TV. Si Ana sendiri ada di kamarnya
sedang bicara dengan adiknya. Kira-kira 5 menit kemudian, kudengar ada orang
datang masuk ke ruang TV dimana aku berada, yang Ternyata Ana.
Aku bertanya pada dia, “Lho.. An, kamu
ngga tidur? Kan udah malem, bahkan pagi nih!”
“Lah.. mas sendiri gimana? Kok ngga tidur juga?” dia balik bertanya.
“Mas kan udah biasa melek sampai pagi, lagian acaranya bagus nih, MTV music Awards.”
“Iya deh… tapi Ana boleh nemenin Mas ngga?”
“Boleh aja, asal bikinin Mas kopi panas dong…”
“Ih.. Mas curang.. Oke deh Ana buatin.”
Kemudian dia beranjak pergi ke dapur untuk membuatkan kopi untukku. Sewaktu dia jalan ke dapur, dia melewati ruangan makan yang gelap, sedangkan ruang dapurnya sendiri dibiarkan terang, sebab Omku orangnya suka makan, jadi kalau malam dia sering ke dapur untuk cari makanan.
“Lah.. mas sendiri gimana? Kok ngga tidur juga?” dia balik bertanya.
“Mas kan udah biasa melek sampai pagi, lagian acaranya bagus nih, MTV music Awards.”
“Iya deh… tapi Ana boleh nemenin Mas ngga?”
“Boleh aja, asal bikinin Mas kopi panas dong…”
“Ih.. Mas curang.. Oke deh Ana buatin.”
Kemudian dia beranjak pergi ke dapur untuk membuatkan kopi untukku. Sewaktu dia jalan ke dapur, dia melewati ruangan makan yang gelap, sedangkan ruang dapurnya sendiri dibiarkan terang, sebab Omku orangnya suka makan, jadi kalau malam dia sering ke dapur untuk cari makanan.
Sewaktu dia melewati kamar makan yang
kebetulan bisa terlihat dari tempat dudukku, aku agak kaget karena kulihat
dasternya kelihatan menerawang terkena cahaya dari dapur. Si Ana ini sebenarnya
tidak hanya manis tetapi juga cantik, tubuhnya agak gemuk, tinggi sekitar 158
cm, ukuran dadanya berapa ya? Tidak tahu.. Kulitnya sawo matang dan yang paling
menarik adalah matanya yang khas cewek Jawa, tidak besar juga tidak kecil.
Sekilas kulihat bentuk tubuhnya sewaktu dia melewati ruang makan. Jantungku
merasa agak berdebar karena aku kan laki-laki, jadi lihat yang seperti itu kan,
ya gimana gitu. Selesai dia membuat kopi, segera dia menuju ke arahku, terus
dia bergabung nonton MTV. Sejenak aku lupa akan kejadian yang mendebarkan tadi
(menurutku lumayan mendebar kan lho).
Kami berbincang-bincang sambil
mengomentari pemenang-pemenang yang sedang diumumkan di TV.
Tiba-tiba dia nyeletuk, “Mas.. tadi enak lho tiduran di pangkuannya Mas..”
“Kenapa emangnya? Mau lagi ya, sini deket-deket Mas..?” kataku.
“Oke deh!”
Kemudian dia mendekat ke arahku dan merebahkan kepalanya di pahaku lagi. Nah, sekarang aku mulai berpikiran macam-macam nih, karena kan dia hanya memakai daster dan di dalam dasternya hanya ada CD dan BH saja. Mau tidak mau batangku mulai bereaksi pelan-pelan, tetapi dia tidak tahu. Masih sekitar 10 menit kami berbincang-bincang, tanganku kutaruh di atas pinggulnya, dan kurasa dia tidak keberatan. Lama-lama sepertinya dia mengantuk dan mulai sembarangan kalau menjawab pertanyaan atau komentarku.
Tiba-tiba dia nyeletuk, “Mas.. tadi enak lho tiduran di pangkuannya Mas..”
“Kenapa emangnya? Mau lagi ya, sini deket-deket Mas..?” kataku.
“Oke deh!”
Kemudian dia mendekat ke arahku dan merebahkan kepalanya di pahaku lagi. Nah, sekarang aku mulai berpikiran macam-macam nih, karena kan dia hanya memakai daster dan di dalam dasternya hanya ada CD dan BH saja. Mau tidak mau batangku mulai bereaksi pelan-pelan, tetapi dia tidak tahu. Masih sekitar 10 menit kami berbincang-bincang, tanganku kutaruh di atas pinggulnya, dan kurasa dia tidak keberatan. Lama-lama sepertinya dia mengantuk dan mulai sembarangan kalau menjawab pertanyaan atau komentarku.
“An.. geser dikit dong, soalnya pahaku
kesemutan nih! Sebentar, ganti pake bantal aja yah…?”
Kemudian kuangkat kepalanya, kupindahkan dia ke bantal yang ada di sofa, sedangkan kakinya kuangkat ke atas pahaku. Singkat cerita, dia sudah tertidur dengan pulas. Pikiranku mulai keluar pikiran iseng, tanganku aku rabakan di kakinya. Sambil pura-pura memijat, dari bawah pelan-pelan naik ke atas, terus turun lagi, naik lagi… lama-lama aku memijatnya terlalu naik sampai hampir menyentuh pangkal pahanya. Rupanya dia terbangun.
“Ngapain Mas..?”
“Eh.. ngga kok cuman mijitin, kan kamu capek barusan abis naik bis jarak jauh?”
“Mmm.., boleh juga.. tapi mijitnya jangan keras-keras ya Mas…”
“Oke An..”
Kemudian kuangkat kepalanya, kupindahkan dia ke bantal yang ada di sofa, sedangkan kakinya kuangkat ke atas pahaku. Singkat cerita, dia sudah tertidur dengan pulas. Pikiranku mulai keluar pikiran iseng, tanganku aku rabakan di kakinya. Sambil pura-pura memijat, dari bawah pelan-pelan naik ke atas, terus turun lagi, naik lagi… lama-lama aku memijatnya terlalu naik sampai hampir menyentuh pangkal pahanya. Rupanya dia terbangun.
“Ngapain Mas..?”
“Eh.. ngga kok cuman mijitin, kan kamu capek barusan abis naik bis jarak jauh?”
“Mmm.., boleh juga.. tapi mijitnya jangan keras-keras ya Mas…”
“Oke An..”
Nah, aku teruskan kembali memijatnya,
tetapi kali ini mijatnya lain, aku kan sedikit-sedikit pernah baca tentang
pijatan erotis, maka aku mencoba untuk mempraktekkannya sekarang. Pertama
kuletakkan tanganku di telapak kakinya, terus kucari simpul yang bisa
membangkitkan gairah seksnya.
“Nah, ketemu nih…” batinku.
Pelan-pelan kupijat bagian itu sambil tanganku yang satunya juga memijat-mijat paha kanannya.
“Nah, ketemu nih…” batinku.
Pelan-pelan kupijat bagian itu sambil tanganku yang satunya juga memijat-mijat paha kanannya.
Setengah sadar dia bertanya, “Mas, kok
enak banget sih pijitannya?”
“Tenang aja deh, yang ini belum apa-apa, entar ada yang lebih hebat.” jawabku.
Lama kelamaan dia jadi tidak merasa ngantuk, tetapi menikmati pijatan-pijatan tanganku sambil mengeluarkan suara lenguhan yang sangat merangsang, “Nngggh… ngghh… enak loh Mas… agak naik dikit Mas.. yang ini lho di atas dengkul…, ya.. di situ… terus.. terus..”
“Tenang aja deh, yang ini belum apa-apa, entar ada yang lebih hebat.” jawabku.
Lama kelamaan dia jadi tidak merasa ngantuk, tetapi menikmati pijatan-pijatan tanganku sambil mengeluarkan suara lenguhan yang sangat merangsang, “Nngggh… ngghh… enak loh Mas… agak naik dikit Mas.. yang ini lho di atas dengkul…, ya.. di situ… terus.. terus..”
Aku tahu dia tidak sadar kalau sedang aku
kerjain. Lama-lama kulihat dia sepertinya mau bangkit dari tidurnya. Kemudian
waktu kubiarkan, ternyata dia tiba-tiba memelukku dan berusaha mencium bibirku.
Aku sendiri menyambut ciumannya dengan bersemangat.
“Wah, lha ini nih yang kunanti,” batinku.
Ciumannya lumayan dahsyat, sampai lidahnya masuk ke mulutku seperti ular. Lidahku sendiri jadi tidak mau kalah menyambut lidahnya yang masuk ke mulutku (heran juga anak ini kok bisa senekat ini pikirku). Dan ternyata, kok luar biasa ciummannya untuk ukuran anak SMU yang belum pernah pacaran, tangannya melingkar di punggungku dan berusaha masuk ke dalam t-shirtku.
“Wah, lha ini nih yang kunanti,” batinku.
Ciumannya lumayan dahsyat, sampai lidahnya masuk ke mulutku seperti ular. Lidahku sendiri jadi tidak mau kalah menyambut lidahnya yang masuk ke mulutku (heran juga anak ini kok bisa senekat ini pikirku). Dan ternyata, kok luar biasa ciummannya untuk ukuran anak SMU yang belum pernah pacaran, tangannya melingkar di punggungku dan berusaha masuk ke dalam t-shirtku.
Gerakan tubuhnya terlihat sekali terbakar
oleh rangsangan yang kuberikan melalui pijatan tadi, tubuhnya naik turun sambil
sesekali bergoyang ke kiri dan ke kanan. Lama-lama daster yang dia kenakan
tertarik ke atas oleh karena gerakannya tersebut, dan tanganku pun bisa leluasa
untuk memegang pantatnya. Dia memakai celana dalam yang tipis berenda.
Pelan-pelan kumasukkan tanganku ke dalam CD-nya dari atas. Aku berhasil
memegang pantatnya, wah.. seketika aku merasakan suatu gelora dalam diriku,
sepertinya aku sendiri mulai terserang rangsangan yang sangat kuat. Aku
pijat-pijat pantatnya, sementara kami masih saling berpagut, dia sendiri
terlihat sangat menikmati pijatan tanganku pada pantatnya. Lalu aku mulai
menaikkan tanganku, berusaha untuk membuka dasternya. Tanpa hambatan, aku
berhasil menaikkan dasternya sampai ke bagian leher, kudorong dia pelan-pelan
ke belakang, dia berusaha untuk tetap memelukku.
Aku berbisik padanya, “An.. tolong kamu
mundur sebentar, aku tolong kamu nglepasin dastermu.”
Dia mengangguk pelan, lalu kubuka dasternya. Kulihat tubuhnya yang mulus hanya ditutupi BH dan CD saja.
“An.. gimana kalo semuanya aku buka…?” tanyaku.
Ternyata ia mengangguk mengiyakan, “Silakan Mas…”
Kubuka pelan-pelan BH-nya sambil kubelai dua bukit di dadanya dengan lembut.
“Ehm… Mas.., Ana sayang sama Mas…” katanya.
Aku tidak menjawab perkataannya. Kemudian kudekatkan wajahku ke buah dadanya dan mulai mengulum-ngulum pucuk bukitnya. Dia terlihat sangat menikmati perlakuanku tersebut, matanya terlihat sayu dan sepertinya mengharap yang lebih dari sekedar dikulum pucuk bukitnya.
Dia mengangguk pelan, lalu kubuka dasternya. Kulihat tubuhnya yang mulus hanya ditutupi BH dan CD saja.
“An.. gimana kalo semuanya aku buka…?” tanyaku.
Ternyata ia mengangguk mengiyakan, “Silakan Mas…”
Kubuka pelan-pelan BH-nya sambil kubelai dua bukit di dadanya dengan lembut.
“Ehm… Mas.., Ana sayang sama Mas…” katanya.
Aku tidak menjawab perkataannya. Kemudian kudekatkan wajahku ke buah dadanya dan mulai mengulum-ngulum pucuk bukitnya. Dia terlihat sangat menikmati perlakuanku tersebut, matanya terlihat sayu dan sepertinya mengharap yang lebih dari sekedar dikulum pucuk bukitnya.
Aku menengok ke arah jam dinding yang
terletak di atas pintu, jarum menunjukkan pukul 12:08 malam. Aku sempat
berpikir, sebenarnya bahaya kalau tiba-tiba Om atau Tanteku memergoki kami yang
sedang asik di sini. Sekejap aku memutar otak, aku lalu berbisik ketelinga Ana.
“An.. kita pindah ke kamarku aja yah?”
Dia tersentak mendengar bisikanku. Aku sendiri kaget, “Apaan nih? Kok jadi medadak berubah?”
Aku rasakan ternyata Ana sepertinya tersadar atas apa yang sedang diperbuatnya. Dengan terburu-buru, dia menyambar pakaiannya dan berusaha lari menuju kamarnya. Cepat sekali kejadian itu berlalu, aku sendiri tidak sempat melakukan apa-apa, aku hanya melongo seperti Mandra diputus Munaroh. Gila, pembaca tahu sendiri kan? Lagi enak-enak bercumbu, tidak tahunya putus di tengah jalan. Tetapi aku sendiri maklum, sebenarnya Ana adalah anak yang taat beribadah. Dan kuyakin yang barus saja kualami, sebenarnya dia melakukannya di bawah sadar.
“An.. kita pindah ke kamarku aja yah?”
Dia tersentak mendengar bisikanku. Aku sendiri kaget, “Apaan nih? Kok jadi medadak berubah?”
Aku rasakan ternyata Ana sepertinya tersadar atas apa yang sedang diperbuatnya. Dengan terburu-buru, dia menyambar pakaiannya dan berusaha lari menuju kamarnya. Cepat sekali kejadian itu berlalu, aku sendiri tidak sempat melakukan apa-apa, aku hanya melongo seperti Mandra diputus Munaroh. Gila, pembaca tahu sendiri kan? Lagi enak-enak bercumbu, tidak tahunya putus di tengah jalan. Tetapi aku sendiri maklum, sebenarnya Ana adalah anak yang taat beribadah. Dan kuyakin yang barus saja kualami, sebenarnya dia melakukannya di bawah sadar.
Paginya, aku bangun sekitar pukul 9:00,
ternyata aku semalam ketiduran di depan TV. Aku ngucek-ucek mataku sambil
mencari dimana kacamataku, agak lama kucari, tetapi tidak ada.
“Mana ya?” aku bergumam pelan.
Kebetulan Tante yang berjalan melewati ruang TV menuju dapur mendengar gumamanku.
“Cari apa Di?” tanya Tanteku.
“Tante liat kacamata Padi ngga?”
“Ngga tuh.. mungkin jatuh di bawah meja, coba cari lagi,” sambil dia berjalan menuju ke arahku ingin membantu mencari.
Dicari-cari sudah lama, tetap tidak ketemu, “Yep.. nanti dicari lagi deh Tante.. biar Padi mandi dulu.” kataku.
“Oke lah, nanti Tante bantu lagi carinya.”
“Oke Tante..” sahutku.
Aku bergegas menuju ke kamarku, mengambil peralatan mandiku.
“Mana ya?” aku bergumam pelan.
Kebetulan Tante yang berjalan melewati ruang TV menuju dapur mendengar gumamanku.
“Cari apa Di?” tanya Tanteku.
“Tante liat kacamata Padi ngga?”
“Ngga tuh.. mungkin jatuh di bawah meja, coba cari lagi,” sambil dia berjalan menuju ke arahku ingin membantu mencari.
Dicari-cari sudah lama, tetap tidak ketemu, “Yep.. nanti dicari lagi deh Tante.. biar Padi mandi dulu.” kataku.
“Oke lah, nanti Tante bantu lagi carinya.”
“Oke Tante..” sahutku.
Aku bergegas menuju ke kamarku, mengambil peralatan mandiku.
Kamarku terletak di sebelah kamar Ana,
sempat kulihat dari celah kamar yang tidak tertutup semua. Ana masih kelihatan
pulas tidurnya. Mungkin dia tidak bisa tidur setelah kejadian tadi malam. Habis
mandi aku menuju ke ruang TV lagi untuk mencari kacamataku yang masih sembunyi.
Ternyata tante sudah ada di sana sedang nonton TV.
Aku tanya ke tante, “Ketemu ngga kacamatanya Tante?”
“Ngga tuh Di.. udah tante cari dimana-mana ngga ada, sampai-sampai sekalian Tante ngebersihin ruang ini deh.”
“Waduh… gimana nih… susah deh. Aku kan ngga bisa baca kalo ngga pake kacamata,” pikirku, “Ya apa mau dikata, kalo lagi apes, gini deh jadinya.”
Aku tanya ke tante, “Ketemu ngga kacamatanya Tante?”
“Ngga tuh Di.. udah tante cari dimana-mana ngga ada, sampai-sampai sekalian Tante ngebersihin ruang ini deh.”
“Waduh… gimana nih… susah deh. Aku kan ngga bisa baca kalo ngga pake kacamata,” pikirku, “Ya apa mau dikata, kalo lagi apes, gini deh jadinya.”
Pukul 9:30, kulihat kamar Ana sudah
terbuka, beberapa menit kemudian Reni (ini nama adiknya) bergabung dengan kami
di ruang TV sambil membawa nampan berisi 4 gelas teh.
Aku tanya dia, “Kok cuman empat gelasnya Ren?”
“Ooo, Papa kan udah berangkat kerja Mas.., jadi Reni bikinnya cuman 4.” jawabnya.
“Gitu ya?” sahutku.
Kami lalu berkumpul membicarakan keadaan Kota Tuban, tiba-tiba si Reni bertanya ke Tante.
“Ma.. kacamata yang di kamar Reni itu punya siapa sih?” tanyanya.
“Eit! lha ini dia nih si kacamata.. ternyata ngumpet di sana,” spontan aku menyahut, “Heh! Itu pasti kacamataku.”
“Betul.. itu pasti kacamatanya Mas Padi, Ren!” sahut Tante, “Sana cepet ambilin!”
Reni lalu berdiri dan mesuk kamar untuk mengambil kacamataku. Aku berpikir, mungkin kacamataku semalam kesangkut di bajunya Ana. Sesaat kemudian Reni kembali membawa kacamataku, aku sempat was-was, moga-moga Tante tidak curiga kenapa kok kacamataku sampai bisa mampir kesana. Memang ternyata dia tidak curiga sama sekali.
Aku tanya dia, “Kok cuman empat gelasnya Ren?”
“Ooo, Papa kan udah berangkat kerja Mas.., jadi Reni bikinnya cuman 4.” jawabnya.
“Gitu ya?” sahutku.
Kami lalu berkumpul membicarakan keadaan Kota Tuban, tiba-tiba si Reni bertanya ke Tante.
“Ma.. kacamata yang di kamar Reni itu punya siapa sih?” tanyanya.
“Eit! lha ini dia nih si kacamata.. ternyata ngumpet di sana,” spontan aku menyahut, “Heh! Itu pasti kacamataku.”
“Betul.. itu pasti kacamatanya Mas Padi, Ren!” sahut Tante, “Sana cepet ambilin!”
Reni lalu berdiri dan mesuk kamar untuk mengambil kacamataku. Aku berpikir, mungkin kacamataku semalam kesangkut di bajunya Ana. Sesaat kemudian Reni kembali membawa kacamataku, aku sempat was-was, moga-moga Tante tidak curiga kenapa kok kacamataku sampai bisa mampir kesana. Memang ternyata dia tidak curiga sama sekali.
Pukul 10:00, Tante pamit mau berangkat ke
pasar yang tidak terlalu jauh jaraknya dari rumahnya, si Reni ikut. Aku
ditinggal sendirian. 5 menit waktu berlalu, aku mulai bosan, terus aku menuju
teras depan ingin merokok. Di teras ternyata ada koran edisi hari itu, aku
tertarik untuk membacanya. Kubolak-balik halamannya, tidak ada yang menarik.
Bosan lagi deh, ngelamun jadinya. Aku teringat kejadian tadi malam.
Dalam hati aku berpikir, “Sekarang di rumah cuman ada aku berdua sama Ana. Wuih! kalo… hehehe kalo… misalnya aku iseng gimana ya?”
Akhirnya, ternyata aku nekat juga.
Dalam hati aku berpikir, “Sekarang di rumah cuman ada aku berdua sama Ana. Wuih! kalo… hehehe kalo… misalnya aku iseng gimana ya?”
Akhirnya, ternyata aku nekat juga.
Aku bangkit dari tempat dudukku, masuk ke
dalam. Sampai di depan pintu kamarku, aku punya ide. “Mmmm harusnya pintu depan
kututup ya, terus aku pasangkan kaleng krupuk di bagian dalam, biar kalo kebuka
dari luar kalengnya kegeser dan bikin suara brisik.” pikirku.
Cepat-cepat kukembali ke ruang tamu dan melakukan rencanaku. Setelah itu, aku kembali lagi ke kamar, hati-hati kuintip ke dalam kamarnya Ana, ternyata dia masih pulas tertidur. Aku berjingkat masuk ke kamarnya, perlahan aku duduk di samping tidurnya. Dia tidurnya mengorok hingga aku mau tertawa waktu itu, tetapi kutahan karena takut dia terbangun. Dengan hanya diterangi lampu baca (kamarnya tidak ada jendelanya), kupandangi wajahnya lama. 5 menit lebih kupandangi dia, semakin lama semakin manis.
“Gila ya, dengan adik sepupu kok seperti itu?” tapi pikirku, “Biarin aja lah, iseng-iseng berhadiah.”
Cepat-cepat kukembali ke ruang tamu dan melakukan rencanaku. Setelah itu, aku kembali lagi ke kamar, hati-hati kuintip ke dalam kamarnya Ana, ternyata dia masih pulas tertidur. Aku berjingkat masuk ke kamarnya, perlahan aku duduk di samping tidurnya. Dia tidurnya mengorok hingga aku mau tertawa waktu itu, tetapi kutahan karena takut dia terbangun. Dengan hanya diterangi lampu baca (kamarnya tidak ada jendelanya), kupandangi wajahnya lama. 5 menit lebih kupandangi dia, semakin lama semakin manis.
“Gila ya, dengan adik sepupu kok seperti itu?” tapi pikirku, “Biarin aja lah, iseng-iseng berhadiah.”
Kemudian aku mulai mencoba membelai
rambutnya, pelan tetapi pasti. Dia tidak bereaksi, dia tidurnya brukut (memakai
selimutnya sampai menutupi leher). Aku berusaha membuka selimutnya perlahan,
kutarik ke bawah dan dia tetap tidak bereaksi. Kumasukkan tanganku ke dalam
selimutnya sambil berusaha mencari payudaranya. Dengan tanpa kesulitan,
tanganku sudah memegang payudaranya, tetapi masih terhalang dasternya.
“Eit… nanti dulu… ternyata dia ngga pake BH! Berarti semalam dia ngga pake BH-nya lagi dong, wah asik nih…” pikirku.
Lalu kumasukkan tanganku melalui lubang di antara kancing dasternya. Tidak susah juga, tanganku sudah memegang daging empuk dengan tonjolan di puncaknya.
“Eit… nanti dulu… ternyata dia ngga pake BH! Berarti semalam dia ngga pake BH-nya lagi dong, wah asik nih…” pikirku.
Lalu kumasukkan tanganku melalui lubang di antara kancing dasternya. Tidak susah juga, tanganku sudah memegang daging empuk dengan tonjolan di puncaknya.
Ana menggeliat, agak keras menggeliatnya,
dia terbangun.
“Mampus gua,” pikirku.
Dia melotot sambil teriak, “Lepasin dong Mas… apa-apaan nih Mas?”
Aku gelagapan berusaha mencari alasan, “An… kamu ngga inget semalem ya?”
“Lupain aja Mas! Ana ngga mau lagi, ngga boleh, entar dosa Mas!”
“Tapi Ana semalem udah ngelakuin dosa lho… kenapa ngga sekalian aja?” rayuku.
Kali ini dia benar-benar marah. Ana teriak-teriak menyuruhku keluar dari kamarnya. Aku turut saja, untung letak rumahnya berjauhan dengan tetangga, jadi aku tidak takut teriakannya terdengar tetangganya.
“Mampus gua,” pikirku.
Dia melotot sambil teriak, “Lepasin dong Mas… apa-apaan nih Mas?”
Aku gelagapan berusaha mencari alasan, “An… kamu ngga inget semalem ya?”
“Lupain aja Mas! Ana ngga mau lagi, ngga boleh, entar dosa Mas!”
“Tapi Ana semalem udah ngelakuin dosa lho… kenapa ngga sekalian aja?” rayuku.
Kali ini dia benar-benar marah. Ana teriak-teriak menyuruhku keluar dari kamarnya. Aku turut saja, untung letak rumahnya berjauhan dengan tetangga, jadi aku tidak takut teriakannya terdengar tetangganya.
Wah… gagal nih ceritanya.., aku akhirnya
hanya meraba-taba batang kemaluanku yang menganggur karena tidak jadi dipakai.
Aku duduk di ruang TV lagi. Melihat acara tarian Bangkok, lumayan lah buat
obat, melihat penyanyi Thailand yang cantik-cantik. Sebentar kemudian Ana
keluar dari kamarnya, dia menuju ke arahku. Aku berusaha tidak peduli, dia lalu
duduk di dekatku.
Katanya, “Mas maapin Ana ya? Ana udah bentak-bentak Mas…”
“Ngga papa An.., Mas yang salah.” balasku.
“Sebenarnya Ana sayang sama Mas, tapi kita kan masih bersaudara, apalagi nanti kalo ketahuan ama Papa-Mama kan bisa berabe Mas!” jelasnya.
“Ya sudah.. lupain aja An, toh kamu masih muda. Nanti juga pasti ada cowok lain yang lebih pantas buat kamu.” lanjutku.
“Iya Mas, Mas… Ana mau ngasih sesuatu buat Mas.”
“Apa An?” tanyaku.
“Liat sini deh Mas..” (dia mulai tidak kaku lagi)
Katanya, “Mas maapin Ana ya? Ana udah bentak-bentak Mas…”
“Ngga papa An.., Mas yang salah.” balasku.
“Sebenarnya Ana sayang sama Mas, tapi kita kan masih bersaudara, apalagi nanti kalo ketahuan ama Papa-Mama kan bisa berabe Mas!” jelasnya.
“Ya sudah.. lupain aja An, toh kamu masih muda. Nanti juga pasti ada cowok lain yang lebih pantas buat kamu.” lanjutku.
“Iya Mas, Mas… Ana mau ngasih sesuatu buat Mas.”
“Apa An?” tanyaku.
“Liat sini deh Mas..” (dia mulai tidak kaku lagi)
Aku menoleh ke arahnya, tiba-tiba dia
mendekatkan bibirnya ke arah bibirku.
“Mmpphh…”
“Plas!” jantungku spontan berdegup keras, “Kok tau-tau nyium sih?” pikirku, tetapi kunikmati saja, enak sih.
Pertamanya dia hanya mau mengecup saja, tetapi kulingkarkan tanganku di lehernya, dan kudekap dia. Dengan lembut kukecup bibirnya, dia tidak berontak ternyata, aku pererat dekapanku, dada kami sudah saling menempel. Aku merasakan kalau dia masih belum memakai BH-nya. Dengan perlahan kubelai punggungnya, dasternya yang terbuat dari sutera terasa halus sekali, sensasinya justru membuatku jadi semakin ON saja. Coba saja pasangan anda disuruh pakai lingerie yang bahannya sutera, ditanggung kalau diraba pasti enak sekali. Lama kami berciuman dengan posisi itu, akhirnya capai juga aku. Kulepas pelukanku dan mengakhiri ciuman.
“Mmpphh…”
“Plas!” jantungku spontan berdegup keras, “Kok tau-tau nyium sih?” pikirku, tetapi kunikmati saja, enak sih.
Pertamanya dia hanya mau mengecup saja, tetapi kulingkarkan tanganku di lehernya, dan kudekap dia. Dengan lembut kukecup bibirnya, dia tidak berontak ternyata, aku pererat dekapanku, dada kami sudah saling menempel. Aku merasakan kalau dia masih belum memakai BH-nya. Dengan perlahan kubelai punggungnya, dasternya yang terbuat dari sutera terasa halus sekali, sensasinya justru membuatku jadi semakin ON saja. Coba saja pasangan anda disuruh pakai lingerie yang bahannya sutera, ditanggung kalau diraba pasti enak sekali. Lama kami berciuman dengan posisi itu, akhirnya capai juga aku. Kulepas pelukanku dan mengakhiri ciuman.
Aku berkata pada Ana, “Sini An… Mas
pangku..”
“Ngga ah Mas… nanti kayak tadi malem deh jadinya…!”
“Percaya deh sama Mas… ngga sampe ngelakuin yang ngga-ngga kok, okey?”
Dia akhirnya mengalah, mungkin dia masih ada rasa ingin juga, dia juga tahu kalau sekarang kami hanya berdua saja di rumah, So? Why not?. Dia duduk di pangkuanku menghadap TV, tanganku bergerak dengan bebas di dadanya.
Kuraba dadanya sambil berkata, “An.. Ana ngga marah-marah lagi nih?”
“Biarin lah Mas.. udah terlanjur nih, tapi janji ya jangan kebablasen…” pintanya.
“Okey An!”
Dari belakang, sambil tanganku membelai payudaranya, kulihat dia memejamkan matanya menikmati belaian tanganku. Tanganku meraba payudaranya dengan hati-hati, penuh perasaan aku membelainya, aku sendiri memejamkan mataku jadinya. Pelan tapi pasti, tanganku bergerak turun menuju perutnya. Agak dekat dengan V-nya kugunakan kuku jariku yang agak panjang untuk membangkitkan rangsangan di perutnya. Kulirik dia, terlihat dia menahan perutnya dengan membuat kaku daerah itu.
“Ngga ah Mas… nanti kayak tadi malem deh jadinya…!”
“Percaya deh sama Mas… ngga sampe ngelakuin yang ngga-ngga kok, okey?”
Dia akhirnya mengalah, mungkin dia masih ada rasa ingin juga, dia juga tahu kalau sekarang kami hanya berdua saja di rumah, So? Why not?. Dia duduk di pangkuanku menghadap TV, tanganku bergerak dengan bebas di dadanya.
Kuraba dadanya sambil berkata, “An.. Ana ngga marah-marah lagi nih?”
“Biarin lah Mas.. udah terlanjur nih, tapi janji ya jangan kebablasen…” pintanya.
“Okey An!”
Dari belakang, sambil tanganku membelai payudaranya, kulihat dia memejamkan matanya menikmati belaian tanganku. Tanganku meraba payudaranya dengan hati-hati, penuh perasaan aku membelainya, aku sendiri memejamkan mataku jadinya. Pelan tapi pasti, tanganku bergerak turun menuju perutnya. Agak dekat dengan V-nya kugunakan kuku jariku yang agak panjang untuk membangkitkan rangsangan di perutnya. Kulirik dia, terlihat dia menahan perutnya dengan membuat kaku daerah itu.
Dia menikmati perbuatanku, perlahan
dasternya kutarik ke atas, dia diam saja, ujung dasternya sudah sampai ke
pahanya. Sedikit lagi pasti aku bisa meraih celana dalamnya. Akhirnya sampai
juga, CD-nya sudah tidak tertutup lagi, sekilas kulihat bercak basah di ujung
V-nya. Tanpa berpikir lama, kupindahkan tanganku ke sana, tanganku merasakan
memang di daerah itu sudah basah. Kusimpulkan pasti dia sudah terangsang berat.
Lalu kuselipkan tanganku ke dalam CD-nya, tetapi dia kali ini menahan tanganku
supaya tidak masuk ke sana. Aku urungkan niatku untuk itu, tanganku hanya
menggosok-gosok dari luar saja. Kemudian terlihat dia mengeluarkan lenguhan dan
badannya menegang, seperti menahan sesuatu. Orgasme rupanya. Lalu badannya
melemas lunglai di pelukanku.
Tanganku yang masih berada di
selangkangannya merasakan kalau CD-nya bertambah basah. Kemudian Ana
memandangiku. Lama kami berpandangan.
Ana kemudian bicara, “Mas, kita lakukan yuk. Ana udah ngga tahan…”
Wah, benar-benar kejutan..! Ana tiba-tiba berubah pikiran. Hal ini tidak akan kusia-siakan. Tanpa bicara lagi, langsung kucium dan kuremas dadanya yang masih tertutup daster. Ana melenguh keenakan karena remasan itu. Kemudian aku melepas remasannya. Kupandangi dadanya di balik dasternya, kupandangi seluruh tubuhnya, kulitnya yang sawo matang. Kemudian aku melepas dasternya karena akan merepotkan saja.
Ana kemudian bicara, “Mas, kita lakukan yuk. Ana udah ngga tahan…”
Wah, benar-benar kejutan..! Ana tiba-tiba berubah pikiran. Hal ini tidak akan kusia-siakan. Tanpa bicara lagi, langsung kucium dan kuremas dadanya yang masih tertutup daster. Ana melenguh keenakan karena remasan itu. Kemudian aku melepas remasannya. Kupandangi dadanya di balik dasternya, kupandangi seluruh tubuhnya, kulitnya yang sawo matang. Kemudian aku melepas dasternya karena akan merepotkan saja.
Kini ia polos tanpa satu benang pun
menutupi tubuhnya. Kemudian aku membopongnya ke kamar tidurku dan kubaringkan
ia di tempat tidur, lalu kuciumi seluruh tubuhnya. Tubuh Ana bergetar hebat,
menandakan bahwa dia baru pertama kali ini melakukan hubungan seks dengan lawan
jenisnya. Kemudian aku mencium dan menjilat bagian perutnya dan mulai ke bawah
dan mulai meraba serta membuka kedua pahanya degan kedua tanganku. Tangan
kananku membuka belahan vaginanya sedangkan seluruh bagian mulutku mulai
mengolah bibir-bibir vaginanya. Tangan kiriku masih meremas buah dadanya yang
sebelah kanan. Aku merasakan adanya cairan yang mulai membasahi permukaan bibir
vaginanya. Aku terus menyedot dan menggigit-gigit perlahan labia mayoranya
dengan asyik, sedangkan tangan kiriku sekarang meraba-raba klitorisnya dengan
cairan pelumas dari lubangnya.
Asyik sekali, karena terlalu
keasyikannya, secara tidak sadar, ada dua tangan menjambak rambutku, aku tidak
menghentikan aktivitasku. Mulanya kupikir hanya gerakan kenikmatan yang
diterimanya secara erotis. Eh, kok tambah lama terasa ada goyangan perlahan di
bagian selangkangannya. Begitu pula tanpa kusadari, ada suara-suara nafas
tertahan dan jambakan di rambutku bukan lagi jambakan pasif, tetapi mulai
membelai dan memegang kupingku. Aku tiba-tiba sadar. Dia benar-benar
menikmatinya. Aku termanggu duduk di antara selangkangannya dan melihat ke arah
wajahnya.
“Kok.., berhenti Mas..?” suaranya berat perlahan dengan tatapan wajah yang sayu.
“Ehh.. terusin Mas… hhh… kurang dikit lagi..!” suaranya tertahan.
“Kok.., berhenti Mas..?” suaranya berat perlahan dengan tatapan wajah yang sayu.
“Ehh.. terusin Mas… hhh… kurang dikit lagi..!” suaranya tertahan.
Aku masih terduduk bingung dan
memandangnya dengan pandangan bodoh. Dan yang menjengkelkan, batang
kejantananku tidak berkompromi. Dia tegak mengacung, sehingga mencuat di antara
kaosku. Kepalanya tampak licin karena cairan bening yang keluar. Sebenarnya
batang kejantananku lumayan besar dan panjang, sehingga tampak mencuat tinggi.
Tiba-tiba Ana bangun, dan duduk di hadapanku, memandangku dengan sayu.
Tiba-tiba tangannya mulai bergerak ke arah batangku, dan memegang lama sambil
tersengal-sengal sehabis melumatnya. Kemudian memandangku perlahan dan
meletakkan dirinya telentang di ranjang. Ana berdiri di atas tempat tidur dan
berjongkok di depanku. Kemudian dia membuka kedua pahanya dan mengangkat
lututnya ke atas sehingga lubangnya terlihat.
Ia meraba permukaan vaginanya sambil
perlahan memandangku dan berkata, “Ayo Mas… masukin..!”
Aku seperti tersihir, antara bingung dan nafsu, menggerakkan diri untuk berlutut di antara kedua pahanya dan memegang kepala batangku yang licin terkena ludahnya dan mengarahkannya ke lubang merah mengkilat itu. Sejenak aku lupa bahwa dia masih belasan tahun, yang kurasakan secara reflek setelah dikenyot habis-habisan olehnya, ialah bahwa ia sudah tidak perawan lagi.
Dan, “Ssleeeppp..” ketat tetapi tidak begitu menjepit dan tanpa hambatan sama sekali (benar dugaanku). Aku menusukkan seluruh panjang batangku ke dalam lubang itu, dan hebatnya seluruh panjangnya batang kejantananku itu masuk total ke dalamnya serta membiarkannya sejenak merasakan denyutan hangatnya. Ana melenguh agak keras. Aku khawatir juga karena dia akan merasakan sakit di bagian dalam vaginanya. Tetapi karena malaikat nafsu lebih berkuasa, ya sudah aku santai saja dan mulai menarik batangku itu dari dalam lubangnya dan memasukkannya lagi seluruhnya.
Aku seperti tersihir, antara bingung dan nafsu, menggerakkan diri untuk berlutut di antara kedua pahanya dan memegang kepala batangku yang licin terkena ludahnya dan mengarahkannya ke lubang merah mengkilat itu. Sejenak aku lupa bahwa dia masih belasan tahun, yang kurasakan secara reflek setelah dikenyot habis-habisan olehnya, ialah bahwa ia sudah tidak perawan lagi.
Dan, “Ssleeeppp..” ketat tetapi tidak begitu menjepit dan tanpa hambatan sama sekali (benar dugaanku). Aku menusukkan seluruh panjang batangku ke dalam lubang itu, dan hebatnya seluruh panjangnya batang kejantananku itu masuk total ke dalamnya serta membiarkannya sejenak merasakan denyutan hangatnya. Ana melenguh agak keras. Aku khawatir juga karena dia akan merasakan sakit di bagian dalam vaginanya. Tetapi karena malaikat nafsu lebih berkuasa, ya sudah aku santai saja dan mulai menarik batangku itu dari dalam lubangnya dan memasukkannya lagi seluruhnya.
Entah karena apa, aku tidak begitu
merasakan rasa nikmat yang cepat naik. Memang terasa basah, licin dan enak
tetapi, ya lebih karena ini memang sedang bersetubuh. Aku mulai berpraktek
dengan berbagai macam cara menusuk dan arah tusukan ke dalam lubang vaginanya.
Yang mulai mencemaskanku, Ana sama sekali tidak berusaha menahan suaranya. Ia
mulai melenguh dan mengerang keras-keras ketika aku mulai mempercepat
gerakanku. Aku antara cemas dan mulai nikmat, tidak peduli lagi. Lagi pula
suaranya mulai merangsangku dan ini membuatku menusuk-nusuk dengan gerakan yang
cepat dan keras.
“Aaahhh… aayooo Mass… aaduhh… cepat Masss..!” pintanya dengan nafsu.
Dia mengangkat kedua tangannya ke atas kepalanya. Bunyi beradunya kemaluan kami mulai terdengar keras, berkecepak-kecepak dan aku mulai merasakan lereng gunung telah kucapai. Tinggal mendaki cepat dan sampai di puncak.
“Aaahhh… aayooo Mass… aaduhh… cepat Masss..!” pintanya dengan nafsu.
Dia mengangkat kedua tangannya ke atas kepalanya. Bunyi beradunya kemaluan kami mulai terdengar keras, berkecepak-kecepak dan aku mulai merasakan lereng gunung telah kucapai. Tinggal mendaki cepat dan sampai di puncak.
Tiba-tiba Ana menghentikan gerakanku, dan
menutup kedua pahanya sehingga terasa ada jepitan yang luar biasa di sekujur
batangku. Kemudian dia memandangku sayu. Aku tahu apa yang dimaksudkannya dan
mulai menggenjot lagi. Aku menjepitkan kedua betisnya di antara leherku dan
bertumpu pada kedua tangan, sedang aku membentuk busur dengan tubuhku,
merapatkan kedua pahaku sehingga terasa batangku membesar dan mulai
menusuk-nusuknya cepat.
“Aaahhh… sss…” terdengar bunyi-bunyian antara suaranya yang merangsang dan bunyi kecepakan kemaluan kami yang beradu, sedangkan aku sendiri mengeluarkan suara helaan nafas yang cepat.
Beberapa menit kemudian, aku merasakan aliran yang semakin cepat memenuhi pinggul dan seluruh tubuhku. Keringatku telah mengucur deras.
“Aaahhh… sss…” terdengar bunyi-bunyian antara suaranya yang merangsang dan bunyi kecepakan kemaluan kami yang beradu, sedangkan aku sendiri mengeluarkan suara helaan nafas yang cepat.
Beberapa menit kemudian, aku merasakan aliran yang semakin cepat memenuhi pinggul dan seluruh tubuhku. Keringatku telah mengucur deras.
Dan, “Annn… Annaaa… aaadduuhhh… ssss…
Ann..!” spermaku menyemprot deras ke arah perutnya. Aku mengerang keras dan
terus mengocok batang kemaluanku. Kemudian tanganku yang mulai begerak ke arah
vaginanya segera menusuk-nusukannya. Lama aku terus menusuk-nusuk lubangnya
karena rasa nikmatnya terus mengalir hingga tidak berapa lama kemudian Anna
berkata, “Masss… aaa… Maass… ssshhh… aaddduuhh..!”
Ana menaikkan pelvisnya dan menerima tusukan-tusukan terakhirku dengan denyutan dinding vagina yang terasa cepat dan kenyal. Aku menindih tubuhnya yang kecil dan merasakan detak jantung yang cepat di dadanya dan dengusan nafas hangat di ubun-ubunku. Jariku masih menancap dalam di dalam vaginanya dan merasakan denyutan yang tidak kunjung reda.
Ana menaikkan pelvisnya dan menerima tusukan-tusukan terakhirku dengan denyutan dinding vagina yang terasa cepat dan kenyal. Aku menindih tubuhnya yang kecil dan merasakan detak jantung yang cepat di dadanya dan dengusan nafas hangat di ubun-ubunku. Jariku masih menancap dalam di dalam vaginanya dan merasakan denyutan yang tidak kunjung reda.
Kemudian aku tergeletak di sampingnya,
aku berkata kepada Ana, “An… kamu sekarang mandi saja ya..? Kayaknya kamu bau
deh…”
“Sialan… iya deh, Ana mandi, makasih ya Mas… Ana udah dikasih pelajaran sama Mas.”
“Sama-sama An..”
Aku tidak merasa menyesal karena tidak dapat seperti yang kubayangkan (gadis yang benar-benar perawan). Yah, lumayanlah bisa meraba-raba kan? Ana lalu berdiri hendak menuju ke kamar mandi, sebelum dia pergi dia menoleh ke arahku lalu menunduk dan menciumku sebentar. Aku belaikan tanganku ke dadanya dan V-nya. Dia tersenyum memandangku, lalu bergegas menuju kamar mandi. Saat dia menutup kamar mandi, aku sempat dengar langkah kaki berlari menjauh dari arah pintu ruang tamu. Aku cepat-cepat menuju ruang tamu ingin mengetahui siapa yang baru saja dari sana. Sempat kulihat warna bajunya, biru seperti yang dipakai Reni. “Mungkinkah..?” batinku.
“Sialan… iya deh, Ana mandi, makasih ya Mas… Ana udah dikasih pelajaran sama Mas.”
“Sama-sama An..”
Aku tidak merasa menyesal karena tidak dapat seperti yang kubayangkan (gadis yang benar-benar perawan). Yah, lumayanlah bisa meraba-raba kan? Ana lalu berdiri hendak menuju ke kamar mandi, sebelum dia pergi dia menoleh ke arahku lalu menunduk dan menciumku sebentar. Aku belaikan tanganku ke dadanya dan V-nya. Dia tersenyum memandangku, lalu bergegas menuju kamar mandi. Saat dia menutup kamar mandi, aku sempat dengar langkah kaki berlari menjauh dari arah pintu ruang tamu. Aku cepat-cepat menuju ruang tamu ingin mengetahui siapa yang baru saja dari sana. Sempat kulihat warna bajunya, biru seperti yang dipakai Reni. “Mungkinkah..?” batinku.
Aku kembali ke ruang TV, sambil
menebak-nebak, “Apa iya.. tadi itu si Reni, terus kalau benar, berarti dia tahu
dong kita lagi ngapain..? Waduh, terlalu serius sih tadi… jadinya begini deh.”
Kurang lebih 20 menit, Tante dan Reni datang dari pasar, Tante katanya mau masak Sop buntut dan membuat Rujak cingur. Siang jam 12:30, Ana mengajakku untuk makan. Saat makan, Reni kelihatan agak canggung melihatku, pikiranku lalu menghubungkan dengan peristiwa yang tadi kualami.
“Berarti tadi memang benar Reni..” pikirku.
Kami tidak bicara banyak saat di meja makan. Akhirnya sore pun tiba, Omku sudah datang sejak jam 3:00 tadi. Aku lewatkan seharian dengan bermain playstation dengan Ana, sedangkan Reni dari tadi berada di dalam kamarnya. Tidak tahu sedang berbuat apa dia, betah-betahnya di dalam kamar terus. Tante sendiri ke rumah tetangga untuk membantu masak, kebetulan tetangga ada yang sedang punya hajat.
Kurang lebih 20 menit, Tante dan Reni datang dari pasar, Tante katanya mau masak Sop buntut dan membuat Rujak cingur. Siang jam 12:30, Ana mengajakku untuk makan. Saat makan, Reni kelihatan agak canggung melihatku, pikiranku lalu menghubungkan dengan peristiwa yang tadi kualami.
“Berarti tadi memang benar Reni..” pikirku.
Kami tidak bicara banyak saat di meja makan. Akhirnya sore pun tiba, Omku sudah datang sejak jam 3:00 tadi. Aku lewatkan seharian dengan bermain playstation dengan Ana, sedangkan Reni dari tadi berada di dalam kamarnya. Tidak tahu sedang berbuat apa dia, betah-betahnya di dalam kamar terus. Tante sendiri ke rumah tetangga untuk membantu masak, kebetulan tetangga ada yang sedang punya hajat.
Jam 8:00 malam, aku membaca-baca majalah
di ruang tamu. Ana dan Reni di ruang TV sedang nonton HBO, tidak tahu apa
film-nya. Tante sudah tidur di kamar belakang, lelah sehabis membantu tetangga.
Si Om malam ini mendapat tugas jaga malam. Jam 9:00, Ana ke ruang tamu, dia
bicara padaku kalau mau tidur duluan, Reni masih mau nonton TV menunggu opera
sabun kegemarannya di HBO kata Ana. Ana suruh aku menemani Reni di ruang TV,
soalnya si Reni anaknya sedikit penakut katanya. Jadi aku pindah ke ruang TV,
kubawa majalah yang sedang kubaca. Aku rebahkan badanku di sofa panjang di
depan TV. Reni sendiri duduk di kursi favoritnya, tanpa sekali pun menengok ke
arahku. Aku teruskan baca artikel yang sempat terputus tadi, sambil
sekali-sekali aku melihat ke arah televisi. Aku lihat ke arah jam tanganku,
ternyata sudah jam 11:13.
Aku berkata kepada Reni, “Ren.. kamu ngga
ngantuk?”
Dia tidak menjawab, kuulangi lagi dua kali baru dia menjawab, “Belum ngantuk kok Mas, lagian film-nya barusan mulai nih.”
“Oke.. kalau gitu Mas pergi tidur dulu ya..?”
“Ntar dulu dong Mas, tunggu film-nya abis… kan Reni takut nonton sendirian, film-nya agak horor nih!” pintanya.
“Sofanya dibuka aja… jadiin tempat tidur, Mas tidur di situ aja.” katanya lagi.
“Emang bisa Ren..? Oke deh Mas coba.”
Aku coba deh usul Reni, dan aku akhirnya tidur di sofa yang sudah diubah menjadi tempat tidur itu. Tidak tahu berapa lama aku tertidur di situ, tiba-tiba aku terbangun merasakan tanganku ada yang memegang. Aku buka mataku sedikit-sedikit, terlihat olehku Reni memegang tanganku, digosok-gosokkannya tanganku ke selangkangannya. Terasa olehku bulu-bulu halus di ujung jariku. Kulirik mukanya, dia mendesah amat pelan. Wajahnya menghadap ke arah televisi, aku jadi curiga, jangan-jangan?
Dia tidak menjawab, kuulangi lagi dua kali baru dia menjawab, “Belum ngantuk kok Mas, lagian film-nya barusan mulai nih.”
“Oke.. kalau gitu Mas pergi tidur dulu ya..?”
“Ntar dulu dong Mas, tunggu film-nya abis… kan Reni takut nonton sendirian, film-nya agak horor nih!” pintanya.
“Sofanya dibuka aja… jadiin tempat tidur, Mas tidur di situ aja.” katanya lagi.
“Emang bisa Ren..? Oke deh Mas coba.”
Aku coba deh usul Reni, dan aku akhirnya tidur di sofa yang sudah diubah menjadi tempat tidur itu. Tidak tahu berapa lama aku tertidur di situ, tiba-tiba aku terbangun merasakan tanganku ada yang memegang. Aku buka mataku sedikit-sedikit, terlihat olehku Reni memegang tanganku, digosok-gosokkannya tanganku ke selangkangannya. Terasa olehku bulu-bulu halus di ujung jariku. Kulirik mukanya, dia mendesah amat pelan. Wajahnya menghadap ke arah televisi, aku jadi curiga, jangan-jangan?
Aku lalu mencoba melihat ke layar
televisi, ternyata di sana terlihat film-nya sudah bukan HBO lagi.
Kesimpulanku, si Reni ternyata suka nonton sampai malam berarti hanya untuk
menyetel VCD porno. Wow! berarti kakaknya kalah dong sama adiknya. Perlu
diketahui, jarak umur antara Ana dengan Reni hanya 1 tahun lebih sedikit,
apalagi Reni anaknya agak bongsor, tingginya sepundakku, tidak begitu gemuk
tetapi cukup berisi. Singkat kata, aku beruntung kali ini, karena mendapat daun
muda nih. Perlahan, tanganku yang masih bebas berusaha melorotkan celana
dalamku ke bawah. Sementara Reni masih asyik dengan kegiatannya yang semakin
lama semakin menjadi, dia seperti terobsesi dengan film dari VCD tersebut.
Lenguhannya kadang-kadang terdengar keras.
Lalu perlahan-lahan tanganku yang dia
pegang kutarik ke arah kemaluanku. Setelah dekat, tanganku yang satunya dengan
cepat kurangkulkan ke pinggangnya dan menariknya ke atas tubuhku. Dia kaget
sekali, hampir dia berontak, tetapi selanjutnya dia justru memegang batang
kejantananku dan mulai mengocok-ngocok dengan lembut. Aku pun lalu
mengimbanginya, kuubah posisiku agar lebih enak dengan bersandar ke belakang,
ke sandaran sofa. Dia menoleh ke arahku, terlihat wajahnya yang khas ABG,
mengingatkanku kepada cewek-cewek yang suka nongkrong di mall-mall. Posisi
tubuh kami akhirnya saling berhadapan, dia menggesekkan tubuhnya naik turun.
Payudaranya ditempelkan ke dadaku. Nafasnya terdengar keras, khas orang yang
sedang terangsang berat, “Sshhhsshhsshhss…” seperti itu deh kalau tidak salah.
T-shirtnya yang gombrong mulai basah
terkena keringatnya, memang malam itu udara terasa sangat panas, aku sendiri
juga merasa kepanasan. Aku peluk dia, tanganku kutelusupkan ke dalam t-shirtnya
dari belakang, sedangkan bibirku tidak tinggal diam begitu saja, kucium
belakang kupingnya dengan pelan, kuhembuskan nafas secara perlahan ke daun
telinganya. Terasa olehku Reni semakin menggila, terasa dari gerakan tubuhnya
yang turun naik dengan cepat, digesekkannya dadanya ke dadaku, juga
selangkangannya dia gesek-gesekkan ke kemaluanku dengan bernafsu. Tanganku yang
berada di punggungnya, akhirnya kugeser ke pantatnya, dari atas punggung
kugerakkan ke bawah, masuk ke celananya sebelum sampai ke pantat. Kuputar ke
samping dengan agak cepat, lalu kuteruskan ke pinggang mencari celana dalamnya,
kuraba dari luar celana dalamnya, pantatnya yang empuk kuremas dengan gemas.
Aku menyesuaikan dengan irama gerakannya yang maju mundur. Kontan dia makin
menggila, tangannya naik ke atas, rambutnya menyuguhkan gerakan yang erotis
sekali. Dia berusaha menanggalkan t-shirtnya.
Setelah t-shirtnya lepas, dia pegang
kepalaku, menariknya ke arahnya dan melumat bibirku dengan sangat bernafsu.
Reni tidak memakai BH, payudaranya yang berukuran lumayan besar terlihat
mengkilat karena basah oleh keringat. Aku menjilat-jilat payudaranya, kukulum
putingnya yang kecil dan tidak begitu menonjol.
Dia berteriak pelan, “Mas..!”
Aku lalu berpindah ke bibirnya yang mungil, kulumat dengan bernafsu bibirnya itu. Dia mendesah keenakan, akhirnya dia tidak tahan lagi.
“Ayo Mas, kayak yang di VCD itu lho Mas…” pintanya.
Kujawab, “Yang gimana Ren..?”
“Cepetan dong Mas… Reni udah ngga tahan nih..”
“Emang Reni udah pernah..?”
“Belum Mas… makanya Reni pengen coba, cepetan dong Mas…”
Dia berteriak pelan, “Mas..!”
Aku lalu berpindah ke bibirnya yang mungil, kulumat dengan bernafsu bibirnya itu. Dia mendesah keenakan, akhirnya dia tidak tahan lagi.
“Ayo Mas, kayak yang di VCD itu lho Mas…” pintanya.
Kujawab, “Yang gimana Ren..?”
“Cepetan dong Mas… Reni udah ngga tahan nih..”
“Emang Reni udah pernah..?”
“Belum Mas… makanya Reni pengen coba, cepetan dong Mas…”
Kami lalu berdiri berhadapan, aku melepas
pakaian yang melekat di tubuhku, dia begitu juga melepas semua pakaian di
tubuhnya. Dengan bernafsu dia pegang batang kemaluanku untuk dikocok-kocok,
sensasinya, wuah! Tidak tergambarkan. Dipegang oleh anak baru umur 18 tahun!
Lalu sebentar kemudian, dia melepas batang kemaluanku dan membalikkan tubuhnya,
berpegangan pada lemari buku. Posisinya sekarang agak menungging
membelakangiku, pantatnya yang belum begitu besar terlihat kenyal. Dari
belakang, aku melihat kemaluannya sudah merekah, ada daging yang keluar dari
kemaluannya, entah apa itu namanya. Mungkin itu kli yang dinamakan clitoris.
Tetapi pemandangan itu menjadikan batang kejantananku menjadi berdenyut-denyut
ingin merasakannya.
Kudekati dia, kugesek-gesekkan kepala
senjataku ke daging yang menyembul keluar itu. Tangan Reni dengan tergesa-gesa
menarik batang kejantananku untuk segera dimasukkan ke dalam liang kemaluannya.
Terasa agak sulit untuk memasukinya, kutusukkan dengan keras karena aku sudah
sangat bernafsu. Aku melihat ke arah wajahnya. Pandangannya ternyata ke arah
layar televisi, sambil sesekali bibirnya mengeluarkan desahan-desahan
merangsang.
“Gila!” pikirku, “Dia ternyata maniak sama VCD porno.”
Aku tingkatkan kecepatanku dalam menggoyang. Lama-lama aku merasa pinggangku capek, dan aku coba mengarahkan dia untuk mengganti posisi classic, aku tiduran dan dia yang di atasku. Dia menurut. Sambil memegang pantatnya, aku tiduran dan menikmati goyangannya. Badannya terlihat mungil bila dibandingkan dengan tubuhku, suara desahannya terdengar melengking lirih di telingaku.
“Gila!” pikirku, “Dia ternyata maniak sama VCD porno.”
Aku tingkatkan kecepatanku dalam menggoyang. Lama-lama aku merasa pinggangku capek, dan aku coba mengarahkan dia untuk mengganti posisi classic, aku tiduran dan dia yang di atasku. Dia menurut. Sambil memegang pantatnya, aku tiduran dan menikmati goyangannya. Badannya terlihat mungil bila dibandingkan dengan tubuhku, suara desahannya terdengar melengking lirih di telingaku.
Pada puncak kenikmatannya, dia
melengkungkan tubuhnya ke belakang, tangannya menahan berat badan tubuhnya
dengan gemetar. Rasa hangat yang terasa oleh batang kejantananku menjadi
bertambah seiring dengan tercapainya puncak kenikmatannya. Sedangkan aku sendiri
belum merasakan puncak. Reni merangkulku dengan lemas. Setelah itu, dia
berbisik ke kupingku.
“Makasih ya Mas, Mas telah memberi Reni melebihi dari mbak Ana…”
“Jreng! Terkuaklah kebenaran peristiwa siang tadi, ternyata memang benar. Reni telah melihatku bermesraan dengan kakaknya.” daliam hatiku.
“Loh, jadi tadi Reni ngelihat Mas padi gituan sama mbak Ana to?”
“Heeh Mas… Reni kepingin, lagian Reni sering ngeliat di VCD. Kayaknya enak banget deh Mas… dan ternyata memang bener.”
“Oke deh, tapi Mas Padi belom sampai puncak nih.. gimana dong? Kan kasihan Reni udah capek.”
“Makasih ya Mas, Mas telah memberi Reni melebihi dari mbak Ana…”
“Jreng! Terkuaklah kebenaran peristiwa siang tadi, ternyata memang benar. Reni telah melihatku bermesraan dengan kakaknya.” daliam hatiku.
“Loh, jadi tadi Reni ngelihat Mas padi gituan sama mbak Ana to?”
“Heeh Mas… Reni kepingin, lagian Reni sering ngeliat di VCD. Kayaknya enak banget deh Mas… dan ternyata memang bener.”
“Oke deh, tapi Mas Padi belom sampai puncak nih.. gimana dong? Kan kasihan Reni udah capek.”
“Begini aja Mas… dari tadi siang emang
Reni udah merencanakan ini, gini rencana Reni, tadi waktu Reni ngeliat Mas sama
Mbak Ana gituan, sebenarnya Reni mo ngambil Dompet Mama yang ketinggalan. Trus
Reni punya rencana, Reni beli CTM (obat tidur) buat dikasih ke minuman Mama ama
Mbak Ana, nah.. tadi Mbak Ana sama Mama udah minum obatnya (dicampur sama teh)
masing-masing 3 butir.. hehehe.”
“Terus gimana dong?” sahutku.
“Sekarang Mbak Ana kan pasti pules banget tidurnya, diapa-apain pasti ngga bangun deh. Kan tempat tidur sebelahnya lagi kosong…”
“Heh!” aku spontan tahu apa yang dimaksudkannya, “Sip deh! Oke Ren! Sekarang kita pindah aja ke kamarmu…”
“Ayo..!”
“Terus gimana dong?” sahutku.
“Sekarang Mbak Ana kan pasti pules banget tidurnya, diapa-apain pasti ngga bangun deh. Kan tempat tidur sebelahnya lagi kosong…”
“Heh!” aku spontan tahu apa yang dimaksudkannya, “Sip deh! Oke Ren! Sekarang kita pindah aja ke kamarmu…”
“Ayo..!”
Kemudian kami berdua berdiri dan menuju ke
arah kamar Ana. Memang benar Ana tertidur lelap. Hanya iseng saja, aku membuka
dasternya dan menyentuh kewanitaannya Ana dan memasukkan jari telunjuk dan
tengah. Ternyata memang tidak bangun! Hanya saja dia mengeluarkan sedikit
lenguhan-lenguhan nikmat yang dia rasakan. Kemudian aku mulai memainkan
vaginanya sampai basah. Tetap saja Ana tidak bangun sama sekali.
“Mas, udah dong. Kok malah Mbak Ana yang dimaenin. Giliran Reni dooong…” keluh Reni karena sudah terbalut nafsu yang tinggi.
Padahal tadi sudah puas. Lagipula aku juga sudah bernafsu karena tadi dalam permainan pertama belum selesai.
“Mas, udah dong. Kok malah Mbak Ana yang dimaenin. Giliran Reni dooong…” keluh Reni karena sudah terbalut nafsu yang tinggi.
Padahal tadi sudah puas. Lagipula aku juga sudah bernafsu karena tadi dalam permainan pertama belum selesai.
Kemudian aku melepaskan jilatan pada
vagina Ana dan berpaling ke Reni ysng sudah mulai memuncak nafsunya. Kemudian
aku mulai naik ke atas ranjang dan menidurkan Reni. Secara intense, kami pun
mulai pagutan. Tetapi ketika kami berciuman, beda sekali dengan yang pertama.
Seperti disirap, kucium pipinya, mulutnya, berhenti lama di situ. Mulut kami
berpagut seperti memecah ribuan rindu. Lidah kami bermain di sana. Tidak lama
kemudian, kuturunkan lidahku ke arah lehernya, dia menggelinjang, matanya
terpejam, tangannya bergidik seperti menahan gelombang perasaannya sendiri.
Ketika putingnya kuraba, dia mulai melenguh. Dengan gerakan halus, aku mulai
meremas-remas sehingga Reni merasa keenakan. Sementara bibirku sudah beralih,
tidak lagi di bibirnya tetapi sudah menjilati telinga, dan lehernya.
Karena buah dadanya sudah terbuka,
mulutku pun bergeser ke puting susunya yang sudah menegang. Ketika kumainkan
dengan lidahku, lenguhannya semakin panjang. Tangan kananku pindah ke arah
vaginanya dan mulai meremasnya. Sambil memainkan klitorisnya, aku terus
menjilati kedua payudaranya. Ketika aku merasakan kemaluannya sudah sangat
basah, aku mulai bernafsu untuk melakukan foreplay yang lebih lama. Tidak lama
kemudian, mulutku menjilat ke arah perut, pinggang dan sasaran terakhir adalah
klitorisnya yang merah. Karena tidak tahan, Reni berontak dan ingin merubah
posisi.
“Ren, duduk di depan mukaku…” pintaku sambil menolongnya berpindah posisi.
Dia pun kemudian duduk dan menempatkan liang kenikmatannya tepat di wajahku. Lidah dan mulutku kembali memberikan kenikmatan baginya. Responnya mengejutnya.
“Aughhh…” setengah berteriak dan kedua tangannya meremas buah dadanya. Kuhisap dan kujilati terus, semakin basah liang kenikmatannya.
“Ren, duduk di depan mukaku…” pintaku sambil menolongnya berpindah posisi.
Dia pun kemudian duduk dan menempatkan liang kenikmatannya tepat di wajahku. Lidah dan mulutku kembali memberikan kenikmatan baginya. Responnya mengejutnya.
“Aughhh…” setengah berteriak dan kedua tangannya meremas buah dadanya. Kuhisap dan kujilati terus, semakin basah liang kenikmatannya.
Tiba-tiba Reni berteriak, keras sekali,
“Aahhh… ahhh,” matanya terpejam dan pinggulnya bergerak-gerak di wajahku.
“Aku.. keluar,” sambil terus menggoyangkan pinggulnya dan tubuhnya seperti tersentak-sentak.
Mungkin inilah orgasme wanita yang paling jelas kulihat. Dan tiba-tiba, keluar cairan membanjir dari liang kenikmatannya. Ini bisa kurasakan dengan jelas, karena mulutku masih menciumi dan menjilatinya.
“Aku.. keluar,” sambil terus menggoyangkan pinggulnya dan tubuhnya seperti tersentak-sentak.
Mungkin inilah orgasme wanita yang paling jelas kulihat. Dan tiba-tiba, keluar cairan membanjir dari liang kenikmatannya. Ini bisa kurasakan dengan jelas, karena mulutku masih menciumi dan menjilatinya.
“Aduh… Mass.. enak banget. Lemes deh.”
katanya. Dia terkulai menindihku.
“Enak?”, tanyaku.
“Enak banget, kamu pinter yah. Ngga pernah lho aku klimaks kayak tadi.”
“Akh, yang bener..? Kamu kan tadi udah ngerasain.” kataku mengingatkan pada permainan pertama kami.”
“Tapi, uuhh… lebih enak yang ini..”
Ternyata Reni masih menikmati sisa-sisa klimaksnya. Tetapi karena belum puas, langsung saja kujilat kembali liang kemaluannya. Semakin lama semakin asyik dan sangat enak, dan dia pun merintih-rintih kecil.
“Mass… nakal ahhh… kok… akkhh… dimaenin lagi… ouuchh… siiich… uwuuhh ooo… sstt akhs… akhs… akhs… ooohhh aahh… sstth,” sambil tubuhnya agak bergerak tidak karuan, mungkin jilatanku tidak seberapa tetapi kulihat dia sedang keasyikan menikmati jilatanku.
“Enak?”, tanyaku.
“Enak banget, kamu pinter yah. Ngga pernah lho aku klimaks kayak tadi.”
“Akh, yang bener..? Kamu kan tadi udah ngerasain.” kataku mengingatkan pada permainan pertama kami.”
“Tapi, uuhh… lebih enak yang ini..”
Ternyata Reni masih menikmati sisa-sisa klimaksnya. Tetapi karena belum puas, langsung saja kujilat kembali liang kemaluannya. Semakin lama semakin asyik dan sangat enak, dan dia pun merintih-rintih kecil.
“Mass… nakal ahhh… kok… akkhh… dimaenin lagi… ouuchh… siiich… uwuuhh ooo… sstt akhs… akhs… akhs… ooohhh aahh… sstth,” sambil tubuhnya agak bergerak tidak karuan, mungkin jilatanku tidak seberapa tetapi kulihat dia sedang keasyikan menikmati jilatanku.
Lalu dia berdiri dan menarik tubuhku ke
lantai. Di situ kami berciuman lagi, entah kenapa aku merasakan sesuatu yang
hangat di sekitar liang kemaluannya, kuingin batang kemaluanku dimasukkannya ke
lubang kemaluannya. Soalnya aku masih ragu. Walaupun tadi sih berani. Tetapi
takut si Ana bangun. Kemudian aku memberanikan untuk bicara.
“Ren, aku masukin lagi yaaa… Tadi kan belum puass…”
Reni tidak menjawab. Dia hanya merintih keenakan. Karena malas bermain sambil berdiri, aku mendorong Reni hingga tertindih oleh badanku. Reni mengerang keras karena vagina tertindih oleh adikku yang sudah menegang tinggi. Kemudian mulai lagi kugerakkan tanganku mencakar halus pinggangnya sampai ke payudaranya. Reni meremas kedua tanganku, menahan geli yang ditimbulkannya.
“Ren, aku masukin lagi yaaa… Tadi kan belum puass…”
Reni tidak menjawab. Dia hanya merintih keenakan. Karena malas bermain sambil berdiri, aku mendorong Reni hingga tertindih oleh badanku. Reni mengerang keras karena vagina tertindih oleh adikku yang sudah menegang tinggi. Kemudian mulai lagi kugerakkan tanganku mencakar halus pinggangnya sampai ke payudaranya. Reni meremas kedua tanganku, menahan geli yang ditimbulkannya.
“Ssshh… ssshhh!” Reni mendesis
berkali-kali menahan kenikmatan itu.
Kembali aku memainkan klitorisnya dengan tanganku, sementara kujilati kedua pahanya.
“Aaahhh… ssshhh,” Reni mengerang lirih.
Aku menikmati aroma kewanitaannya yang semerbak bersamaan keluarnya cairan dari liang kemaluannya. Kubenamkan wajahku ke liang kemaluannya sambil menjilati bibir kemaluannya. Klitorisnya yang berwarna merah jambu kukulum sambil kumainkan dengan lidahku. Tubuh Reni menggelinjang bergetar.
“Uuuhffsss… aaahhh!” Reni menjerit menahan kenikmatan sambil tangannya menggenggam tepi ranjang.
Kurasakan cairan kemaluannya deras mengalir dan kuhisap dengan penuh kepuasan.
Kembali aku memainkan klitorisnya dengan tanganku, sementara kujilati kedua pahanya.
“Aaahhh… ssshhh,” Reni mengerang lirih.
Aku menikmati aroma kewanitaannya yang semerbak bersamaan keluarnya cairan dari liang kemaluannya. Kubenamkan wajahku ke liang kemaluannya sambil menjilati bibir kemaluannya. Klitorisnya yang berwarna merah jambu kukulum sambil kumainkan dengan lidahku. Tubuh Reni menggelinjang bergetar.
“Uuuhffsss… aaahhh!” Reni menjerit menahan kenikmatan sambil tangannya menggenggam tepi ranjang.
Kurasakan cairan kemaluannya deras mengalir dan kuhisap dengan penuh kepuasan.
“Masss… masukin sekarang.. aku ngga tahan
nih..” Reni lirih memohonku untuk segera memasuki tubuhnya.
Aku segera menempatkan tubuhku di atas tubuhnya yang ramping, seksi serta kencang itu. Berdesir darahku melihat Reni terbaring polos telanjang. Ini bukan kesekian kalinya aku mengaguminya. Badan Reni kurus tetapi kencang dan atletis seperti pelari sprinter tetapi untungnya tidak sampai berotot.
“Maass… cepat doong… aakkhh.. ngga tahan nih…”
“Ok, tenang aja..”
Aku segera menempatkan tubuhku di atas tubuhnya yang ramping, seksi serta kencang itu. Berdesir darahku melihat Reni terbaring polos telanjang. Ini bukan kesekian kalinya aku mengaguminya. Badan Reni kurus tetapi kencang dan atletis seperti pelari sprinter tetapi untungnya tidak sampai berotot.
“Maass… cepat doong… aakkhh.. ngga tahan nih…”
“Ok, tenang aja..”
Sejenak sempat kudengar Reni mendesis
saat meraih kemaluanku.
“Uuu… besar dan kuat..” ujarnya setengah berbisik seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Begitu ujung kepala batang kejantananku menempel di bibir kewanitaannya, kurasakan getaran listrik yang mulai menjalar di seluruh tubuhku. Lalu perlahan kudorongkan ke dalam liang kemaluannya.
“Uuhhss… yess, Masss… uuuffssh,” Reni mengerang sambil mendongakkan kepalanya.
Dengan satu dorongan berikutnya, batang kemaluanku sudah masuk secara penuh ke dalam liang kenikmatan Reni yang hangat dan tebal. Reni mengalungkan kedua tangannya di leherku dan kedua kakinya melingkar di pinggangku.
“Uuu… besar dan kuat..” ujarnya setengah berbisik seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Begitu ujung kepala batang kejantananku menempel di bibir kewanitaannya, kurasakan getaran listrik yang mulai menjalar di seluruh tubuhku. Lalu perlahan kudorongkan ke dalam liang kemaluannya.
“Uuhhss… yess, Masss… uuuffssh,” Reni mengerang sambil mendongakkan kepalanya.
Dengan satu dorongan berikutnya, batang kemaluanku sudah masuk secara penuh ke dalam liang kenikmatan Reni yang hangat dan tebal. Reni mengalungkan kedua tangannya di leherku dan kedua kakinya melingkar di pinggangku.
Aku mulai gerakan memompa liang
kemaluannya.
“Yess… ufff Maas…” Reni menjerit halus sambil memejamkan matanya.
Gerakanku semakin lama semakin cepat dengan tekanan yang semakin kuat menerobos kedalaman liang kemaluan Reni yang merespon dengan berdenyut-denyut seperti memijit batang kemaluanku.
Tiba-tiba Reni membuka matanya dan berbisik lirih, “Mas ganti posisi… aku mau nih keluar nih..”
Kami segera ganti posisi, badan Reni membalik dalam posisi menungging (doggy style). Katanya dia biasa orgasme dalam posisi ini.
“Yess… ufff Maas…” Reni menjerit halus sambil memejamkan matanya.
Gerakanku semakin lama semakin cepat dengan tekanan yang semakin kuat menerobos kedalaman liang kemaluan Reni yang merespon dengan berdenyut-denyut seperti memijit batang kemaluanku.
Tiba-tiba Reni membuka matanya dan berbisik lirih, “Mas ganti posisi… aku mau nih keluar nih..”
Kami segera ganti posisi, badan Reni membalik dalam posisi menungging (doggy style). Katanya dia biasa orgasme dalam posisi ini.
Aku menuruti permintaan Reni yang jelas
dalam posisi ini aku jadi bisa melihat postur Reni lebih lengkap. Biarpun Reni
ramping, tetapi dia memiliki pantat yang padat dan berisi sehingga dengan
pinggangnya yang ramping makin membuat pantatnya montok. Aku segera mengarahkan
batang kemaluanku kembali, kali ini penetrasi dari belakang.
“Srrrt…” makin lancar penetrasiku kali ini soalnya bagian luar liang kemaluan Reni makin basah.
Reni menggenggam pegangan ranjang degan kedua tangannya. Aku menciumi lehernya dari belakang sambil kadang-kadang menggigit pundaknya. Ternyata Reni sangat aktif dalam posisi ini. Dia semakin aktif bergerak, selain mengikuti gerakan maju mundurku, pinggulnya pun bergoyang mengocok batang kemaluanku.
“Srrrt…” makin lancar penetrasiku kali ini soalnya bagian luar liang kemaluan Reni makin basah.
Reni menggenggam pegangan ranjang degan kedua tangannya. Aku menciumi lehernya dari belakang sambil kadang-kadang menggigit pundaknya. Ternyata Reni sangat aktif dalam posisi ini. Dia semakin aktif bergerak, selain mengikuti gerakan maju mundurku, pinggulnya pun bergoyang mengocok batang kemaluanku.
“Reni… pinggul kamu hebat banget,” aku
berbisik terengah-engah.
Reni menjawabnya dengan erangan-erangan, dia menoleh kepadaku sambil menggigit bibir bawahnya. Terlihat peluh membasahi wajahnya yang makin memerah.
Sesaat kemudian dia berbisik kepadaku, “Ouuchhh.. sayang… lebih cepat!” suaranya diikuti deru nafas yang memburu. Rupanya dia sudah semakin mendekati klimaks.
Aku pun meresponnya dengan gerakan yang lebih cepat dan keras. Kutusukkan batang kemaluanku makin dalam ke liang kemaluannya seiring perasaan klimaks yang sudah di ambang.
“Aaahhh Uuuh Sssh… teruuus Mas… ahhh…” Reni menjerit sambil bergerak makin liar sampai ranjangnya berderik-derik.
Reni menjawabnya dengan erangan-erangan, dia menoleh kepadaku sambil menggigit bibir bawahnya. Terlihat peluh membasahi wajahnya yang makin memerah.
Sesaat kemudian dia berbisik kepadaku, “Ouuchhh.. sayang… lebih cepat!” suaranya diikuti deru nafas yang memburu. Rupanya dia sudah semakin mendekati klimaks.
Aku pun meresponnya dengan gerakan yang lebih cepat dan keras. Kutusukkan batang kemaluanku makin dalam ke liang kemaluannya seiring perasaan klimaks yang sudah di ambang.
“Aaahhh Uuuh Sssh… teruuus Mas… ahhh…” Reni menjerit sambil bergerak makin liar sampai ranjangnya berderik-derik.
Kuteruskan gerakanku dengan mengerahkan
sekuat tenaga mengimbangi gerakan liar Reni.
Ana masih tidur ketika Reni tiba-tiba menjerit, “Aaah… uuhhhfffssshhh… Masss…” kepalanya mendongak, tubuhnya bergetar hebat dan kurasakan semburan hangat dari liang kewanitaannya merembes sampai ke buah kemaluanku.
Aku pun melepaskan jutaan spermaku menyemprot kencang memenuhi karet kondom yang kupakai.
“Uuu… yess…” Reni mengakhiri gelombang kenikmatan dan mengerang sambil menikmati sisa-sisa orgasmenya.
“Ouuhhh.. Masss, kamu hebat sekali… aahh…”
Mungkin bisa dibilang ini adalah permainan terbaikku dibandingkan dengan Ana. Kemudian kami pun sempat tertidur berpelukan di kamar Ana.
Ana masih tidur ketika Reni tiba-tiba menjerit, “Aaah… uuhhhfffssshhh… Masss…” kepalanya mendongak, tubuhnya bergetar hebat dan kurasakan semburan hangat dari liang kewanitaannya merembes sampai ke buah kemaluanku.
Aku pun melepaskan jutaan spermaku menyemprot kencang memenuhi karet kondom yang kupakai.
“Uuu… yess…” Reni mengakhiri gelombang kenikmatan dan mengerang sambil menikmati sisa-sisa orgasmenya.
“Ouuhhh.. Masss, kamu hebat sekali… aahh…”
Mungkin bisa dibilang ini adalah permainan terbaikku dibandingkan dengan Ana. Kemudian kami pun sempat tertidur berpelukan di kamar Ana.
Jam 5 pagi Reni
balik ke kamarnya dan aku pun tidur di kamarku sendiri. Pukul 10:00, aku bangun
dan mempersiapkan diri untuk kembali pulang ke kotaku. Aku diantar Om ke
terminal bus, aku tidak sempat pamit dengan Ana dan Reni karena mereka belum
bangun. Reni kelelahan karena habis bertempur denganku sepanjang malam, sedang
Ana masih terpengaruh CTM. Tante sendiri belum bangun juga. Si Reni memang gila
seks. Hari itu hari Kamis, jadwalku adalah harus berobat ke dokter spesialisku.
Tetapi sial, di jalan perutku terasa sakit, sepertinya diare. Aku terpaksa
turun di jalan dan mencari restoran terdekat untuk buang hajat. Sampai di
rumahku pukul 8 malam dan itu berarti aku tidak jadi ke dokter. Tetapi aku
tetap tersenyum simpul, kalau mengingat baru saja aku mendapatkan dua perawan
ting-ting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar