Tante Girang itu Ani namanya
ini bercerita tentang pengalaman
temanku yang berhasil menikmati tubuh seorang tante girang bernama ani.
Silahkan dibaca cerita dewasa tante girang selengkapnya dibawah ini.
Sejak setelah menikah, ibu
tinggal di rumah kecil kami beberapa bulan sambil menunggu bangunan rumah baru
mereka selesai. Lagi-lagi, rumah baru mereka tidak jauh dari bengkel ayah. Ayah
menolak tinggal di rumah tante Tina karena alasan pribadi ayah. Setelah banyak
process yang dilakukan antara ayah dan ibu, akhirnya bengkel tempat ayah
bekerja, kini menjadi milik ayah dan ibu sepenuhnya.
Ayah pernah memohon kepada
ibu agar dia ingin tetap dapat bekerja di bengkel, dan terang saja bengkel itu
langsung ibu putuskan untuk dibeli saja. Maklum ibu adalah ‘business-minded
person’. Aku semakin sayang dengan ibu, karena pada akhirnya cita-cita ayah
untuk memiliki bengkel sendiri terkabulkan. Kini bengkel ayah makin besar
setelah ibu ikut berperan besar di sana. Banyak renovasi yang mereka lakukan
yang membuat bengkel ayah tampak lebih menarik.
Pelanggan ayah makin
bertambah, dan kali ini banyak dari kalangan orang-orang kaya. Ayah tidak
memecat pegawai-pegawai lama di sana, malah menaikkan gaji mereka dan
memperlakukan mereka seperti saat dia diperlakukan oleh pemilik bengkel yang
lama.
Kehidupan dan gaya hidupku
& ayah benar-benar berubah 180 derajat. Kini ayah sering melancong ke luar
negeri bersama ibu, dan aku sering ditinggal di rumah sendiri dengan pembantu.
Alasan aku ditinggal mereka karena aku masih harus sekolah.
Ibu sering mengundang
teman-teman lamanya bermain di rumah. Salah satu temannya bernama tante Ani.
Tante Ani saat itu hanya 15 tahun lebih tua dariku. Semestinya dia pantas aku
panggil kakak daripada tante, karena wajahnya yang masih terlihat seperti orang
berumur 20 tahunan. Tanti Ani adalah pelanggan tetap salon kecantikan ibu, dan
kemudian menjadi teman baik ibu.
Wajah tante Ani tergolong
cantik dengan kulitnya yang putih bersih. Dadanya tidak begitu besar, tapi
pinggulnya indah bukan main. Maklum anak orang kaya yang suka tandang ke salon
kecantikan. Tante Ani sering main ke rumah dan kadang kala ngobrol atau gossip
dengan ibu berjam-jam. Tidak jarang tante Ani keluar bersama kami sekeluarga
untuk nonton bioskop, window shopping atau ngafe di mall.
Aku pernah sempat bertanya
tentang kehidupan pribadi tante Ani. Ibu bercerita bahwa tante Ani itu bukanlah
janda cerai atau janda apalah. Tapi tante Ani sempat ingin menikah, tapi
ternyata pihak dari laki-laki memutuskan untuk mengakhiri pernikahan itu. Alasan-nya
tidak dijelaskan oleh ibu, karena mungkin aku masih terlalu muda untuk mengerti
hal-hal seperti ini.
Pada suatu hari ayah dan
ibu lagi-lagi cabut dari rumah. Tapi kali ini mereka tidak ke luar negeri, tapi
hanya melancong ke kota Bandung saja selama akhir pekan. Lagi-lagi hanya aku
dan pembantu saja yang tinggal di rumah. Saat itu aku ingin sekali kabur dari
rumah, dan menginap di rumah teman. Tiba-tiba bel rumah berbunyi dan waktu itu
masih jam 5:30 sore di hari Sabtu. Ayah dan ibu baru 1/2 jam yang lalu
berangkat ke Bandung. Aku pikir mereka kembali ke rumah mengambil barang yang
ketinggalan.
Sewaktu pintu rumah dibuka
oleh pembantu, suara tante Ani menyapanya. Aku hanya duduk bermalas-malasan di
sofa ruang tamu sambil nonton acara TV. Tiba-tiba aku disapanya.
“Bernas kok ngga ikut papa
mama ke Bandung?” tanya tante Ani.
“Kalo ke Bandung sih Bernas malas, tante. Kalo ke Singapore Bernas mau ikut.” jawabku santai.
“Yah kapan-kapan aja ikut tante ke Singapore. Tante ada apartment di sana” tungkas tante Ani.
Aku pun hanya menjawab apa adanya “Ok deh. Ntar kita pigi rame-rame aja. Tante ada perlu apa dengan mama? Nyusul aja ke Bandung kalo penting.”.
“Kagak ada sih. Tante cuman pengen ajak mamamu makan aja. Yah sekarang tante bakalan makan sendirian nih. Bernas mau ngga temenin tante?”.
“Emang tante mau makan di mana?”
“Tante sih mikir Pizza Hut.”
“Males ah ogut kalo Pizza Hut.”
“Trus Bernas maunya pengen makan apa?”
“Makan di Muara Karang aja tante. Di sono kan banyak pilihan, ntar kita pilih aja yang kita mau.”
“Oke deh. Mau cabut jam berapa?”
“Entaran aja tante. Bernas masih belon laper. Jam 7 aja berangkat. Tante duduk aja dulu.”
“Kalo ke Bandung sih Bernas malas, tante. Kalo ke Singapore Bernas mau ikut.” jawabku santai.
“Yah kapan-kapan aja ikut tante ke Singapore. Tante ada apartment di sana” tungkas tante Ani.
Aku pun hanya menjawab apa adanya “Ok deh. Ntar kita pigi rame-rame aja. Tante ada perlu apa dengan mama? Nyusul aja ke Bandung kalo penting.”.
“Kagak ada sih. Tante cuman pengen ajak mamamu makan aja. Yah sekarang tante bakalan makan sendirian nih. Bernas mau ngga temenin tante?”.
“Emang tante mau makan di mana?”
“Tante sih mikir Pizza Hut.”
“Males ah ogut kalo Pizza Hut.”
“Trus Bernas maunya pengen makan apa?”
“Makan di Muara Karang aja tante. Di sono kan banyak pilihan, ntar kita pilih aja yang kita mau.”
“Oke deh. Mau cabut jam berapa?”
“Entaran aja tante. Bernas masih belon laper. Jam 7 aja berangkat. Tante duduk aja dulu.”
Kami berdua nonton
bersebelahan di sofa yang empuk. Sore itu tante Ani mengenakan baju yang
lumayan sexy. Dia memakai rok ketat sampai 10 cm di atas lutut, dan atasannya
memakai baju berwarna orange muda tanpa lengan dengan bagian dada atas terbuka
(kira-kira antara 12 sampai 15cm kebawah dari pangkal lehernya). Kaki tante Ani
putih mulus, tanpa ada bulu kaki 1 helai pun. Mungkin karena dia rajin bersalon
ria di salon ibu, paling tidak seminggu 2 kali. Bagian dada atasnya juga putih
mulus. Kami nonton TV dengan acara/channel seadanya saja sambil menunggu sampai
jam 7 malam. Kami juga kadang-kadang ngobrol santai, kebanyakan tante Ani suka
bertanya tentang kehidupan sekolahku sampai menanyakan tentang kehidupan
cintaku di sekolah. Aku mengatakan kepada tante Ani bahwa aku saat itu masih
belum mau terikat dengan masalah percintaan jaman SMA. Kalo naksir sih ada,
cuma aku tidak sampai mengganggap terlalu serius.
Semakin lama kami
berbincang-bincang, tubuh tante Ani semakin mendekat ke arahku. Bau parfum
Chanel yg dia pakai mulai tercium jelas di hidungku. Tapi aku tidak mempunyai
pikiran apa-apa saat itu.
Tiba-tiba tante Ani berkata,
“Bernas, kamu suka dikitik-kitik ngga kupingnya?”.
“Huh? Mana enak?” tanyaku.
“Mau tante kitik kuping Bernas?” tante Ani menawarkan/
“Hmmm…boleh aja. Mau pake cuttonbud?” tanyaku sekali lagi.
“Ga usah, pake bulu kemucing itu aja” tundas tante Ani.
“Idih jorok nih tante. Itu kan kotor. Abis buat bersih-bersih ama mbak.” jawabku spontan.
“Alahh sok bersihan kamu Bernas. Kan cuman ambil 1 helai bulunya aja. Lagian kamu masih belum mandi kan? Jorok mana hayo!” tangkas tante Ani.
“Percaya tante deh, kamu pasti demen. Sini baring kepalanya di paha tante.” lanjutnya.
“Huh? Mana enak?” tanyaku.
“Mau tante kitik kuping Bernas?” tante Ani menawarkan/
“Hmmm…boleh aja. Mau pake cuttonbud?” tanyaku sekali lagi.
“Ga usah, pake bulu kemucing itu aja” tundas tante Ani.
“Idih jorok nih tante. Itu kan kotor. Abis buat bersih-bersih ama mbak.” jawabku spontan.
“Alahh sok bersihan kamu Bernas. Kan cuman ambil 1 helai bulunya aja. Lagian kamu masih belum mandi kan? Jorok mana hayo!” tangkas tante Ani.
“Percaya tante deh, kamu pasti demen. Sini baring kepalanya di paha tante.” lanjutnya.
Seperti sapi dicucuk
hidungnya, aku menurut saja dengan tingkah polah tante Ani. Ternyata memang
benar adanya, telinga ‘dikitik-kitik’ dengan bulu kemucing benar-benar enak
tiada tara. Baru kali itu aku merasakan enaknya, serasa nyaman dan pengen tidur
aja jadinya. Dan memang benar, aku jadi tertidur sampe sampai jam sudah
menunjukkan pukul 7 lewat. Suara lembut membisikkan telingaku.
“Bernas, bangun yuk. Tante
dah laper nih.” kata tante.
“Erghhhmmm … jam berapa sekarang tante.” tanyaku dengan mata yang masih setengah terbuka.
“Udah jam 7 lewat Bernas. Ayo bangun, tante dah laper. Kamu dari tadi asyik tidur tinggalin tante. Kalo dah enak jadi lupa orang kamu yah.” kata tante sambil mengelus lembut rambutku.
“Masih ngantuk nih tante … makan di rumah aja yah? Suruh mbak masak atau beli mie ayam di dekat sini.”
“Ahhh ogah, tante pengen jalan-jalan juga kok. Bosen dari tadi bengong di sini.”
“Oke oke, kasih Bernas lima menit lagi deh tante.” mintaku.
“Kagak boleh. Tante dah laper banget, mau pingsan dah.”
“Erghhhmmm … jam berapa sekarang tante.” tanyaku dengan mata yang masih setengah terbuka.
“Udah jam 7 lewat Bernas. Ayo bangun, tante dah laper. Kamu dari tadi asyik tidur tinggalin tante. Kalo dah enak jadi lupa orang kamu yah.” kata tante sambil mengelus lembut rambutku.
“Masih ngantuk nih tante … makan di rumah aja yah? Suruh mbak masak atau beli mie ayam di dekat sini.”
“Ahhh ogah, tante pengen jalan-jalan juga kok. Bosen dari tadi bengong di sini.”
“Oke oke, kasih Bernas lima menit lagi deh tante.” mintaku.
“Kagak boleh. Tante dah laper banget, mau pingsan dah.”
Sambil malas-malasan aku
bangun dari sofa. Kulihat tante Ani sedang membenarkan posisi roknya kembali.
Alamak gaya tidurku kok jelek sekali sih sampe-sampe rok tante Ani tersingkap
tinggi banget. Berarti dari tadi aku tertidur di atas paha mulus tante Ani,
begitulah aku berpikir. Ada rasa senang juga di dalam hati.
Setelah mencuci muka, ganti
pakaian, kita berdua berpamitan kepada pembantu rumah kalau kita akan makan
keluar. Aku berpesan kepada pembantu agar jangan menunggu aku pulang, karena
aku yakin kita pasti bakal lama. Jadi aku membawa kunci rumah, untuk
berjaga-jaga apabila pembantu rumah sudah tertidur.
“Nih kamu yang setir mobil
tante dong.”
“Ogah ah, Bernas cuman mau setir Baby Benz tante. Kalo yang ini males ah.” candaku. Waktu itu tante Ani membawa sedan Honda, bukan Mercedes-nya.
“Belagu banget kamu. Kalo ngga mau setir ini, bawa itu Benz-nya mama.” balas tante Ani.
“No way … bisa digantung ogut ama papa mama.” jawabku.
“Iya udah kalo gitu setir ini dong.” jawab tante Ani sambil tertawa kemenangan.
“Ogah ah, Bernas cuman mau setir Baby Benz tante. Kalo yang ini males ah.” candaku. Waktu itu tante Ani membawa sedan Honda, bukan Mercedes-nya.
“Belagu banget kamu. Kalo ngga mau setir ini, bawa itu Benz-nya mama.” balas tante Ani.
“No way … bisa digantung ogut ama papa mama.” jawabku.
“Iya udah kalo gitu setir ini dong.” jawab tante Ani sambil tertawa kemenangan.
Mobil melaju menyusuri
jalan-jalan kota Jakarta. Tante Ani seperti bebek saja, ngga pernah stop
ngomong and gossipin teman-temannya. Aku jenuh banget yang mendengar. Dari yang
cerita pacar teman-temannya lah, sampe ke mantan tunangannya. Sesampai di
daerah Muara Karang, aku memutuskan untuk makan bakmi bebeknya yang tersohor di
sana. Untung tante Ani tidak protes dengan pilihan saya, mungkin karena sudah
terlalu lapar dia.
Setelah makan, kita mampir
ke tempat main bowling. Abis main bowling tante Ani mengajakku mampir ke
rumahnya. Tante Ani tinggal sendiri di apartemen di kawasan Taman Anggrek. Dia
memutuskan untuk tinggal sendiri karena alasan pribadi juga. Ayah dan ibu tante
Ani sendiri tinggal di Bogor. Saat itu aku tidak tau apa pekerjaan sehari-hari
tante Ani, yang tante Ani tidak pernah merasa kekurangan materi.
Apartemen tante Ani lumayan
bagus dengan tata interior yang classic. Di sana tidak ada siapa-siapa yang
tinggal di sana selain tante Ani. Jadi aku bisa maklum apabila tante Ani sering
keluar rumah. Pasti jenuh apabila tinggal sendiri di apartemen.
“Anggap rumah sendiri
Bernas. Jangan malu-malu. Kalau mau minum ambil aja sendiri yah.”
“Kalo begitu, Bernas mau yang ini.” sambil menunjuk botol Hennessy V.S.O.P yang masih disegel.
“Kagak boleh, masih dibawah umur kamu.” cegah tante Ani.
“Tapi Bernas dah umur 17 tahun. Mestinya ngga masalah” jawabku dengan bermaksud membela diri.
“Kalo kamu memaksa yah udah. Tapi jangan buka yang baru, tante punya yang sudah dibuka botolnya.”.
“Kalo begitu, Bernas mau yang ini.” sambil menunjuk botol Hennessy V.S.O.P yang masih disegel.
“Kagak boleh, masih dibawah umur kamu.” cegah tante Ani.
“Tapi Bernas dah umur 17 tahun. Mestinya ngga masalah” jawabku dengan bermaksud membela diri.
“Kalo kamu memaksa yah udah. Tapi jangan buka yang baru, tante punya yang sudah dibuka botolnya.”.
Tiba-tiba suara tante Ani
menghilang dibalik master bedroomnya. Aku menganalisa ruangan sekitarnya.
Banyak lukisan-lukisan dari dalam dan luar negeri terpampang di dinding.
Lukisan dalam negerinya banyak yang bergambarkan wajah-wajah cantik gadis-gadis
Bali. Lukisan yang berbobot tinggi, dan aku yakin pasti bukan barang yang
murahan.
“Itu tante beli dari
seniman lokal waktu tante ke Bali tahun lalu” kata tante Ani memecahkan suasana
hening sebelumnya.
“Bagus tante. High taste banget. Pasti mahal yah?!” jawabku kagum.
“Ngga juga sih. Tapi tante tidak pernah menawar harga dengan seniman itu, karena seni itu mahal. Kalo tante tidak cocok dengan harga yang dia tawarkan, tante pergi saja.”
“Bagus tante. High taste banget. Pasti mahal yah?!” jawabku kagum.
“Ngga juga sih. Tapi tante tidak pernah menawar harga dengan seniman itu, karena seni itu mahal. Kalo tante tidak cocok dengan harga yang dia tawarkan, tante pergi saja.”
Aku masih menyibukkan diri
mengamati lukisan-lukisan yang ada, dan tante Ani tidak bosan menjelaskan arti
dari lukisan-lukisan tersebut. Tante Ani ternyata memiliki kecintaan tinggi
terhadap seni lukis.
“Ok deh. Kalo begitu Bernas
mau pamit pulang dulu tante. Dah hampir jam 11 malam. Tante istirahat aja dulu
yah.” kataku.
“Ehmmm … tinggal dulu aja di sini. Tante juga masih belum ngantuk. Temenin tante bentar yah.” mintanya sedikit memohon.
“Ehmmm … tinggal dulu aja di sini. Tante juga masih belum ngantuk. Temenin tante bentar yah.” mintanya sedikit memohon.
Aku juga merasa kasihan
dengan keadaan tante Ani yang tinggal sendiri di apartemen itu. Jadi aku
memutuskan untuk tinggal 1 atau 2 jam lagi, sampai nanti tante Ani sudah ingin
tidur.
“Kita main UNO yuk?!” ajak
tante Ani.
“Apa itu UNO?!” tanyaku penasaran.
“Walah kamu ngga pernah main UNO yah?” tanya tante Ani. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“Wah kamu kampung boy banget sih.” canda tante Ani. Aku hanya memasang tampak cemburut canda.
“Apa itu UNO?!” tanyaku penasaran.
“Walah kamu ngga pernah main UNO yah?” tanya tante Ani. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“Wah kamu kampung boy banget sih.” canda tante Ani. Aku hanya memasang tampak cemburut canda.
Tante Ani masuk ke kamarnya
lagi untuk membawa kartu UNO, dan kemudian masuk ke dapur untuk mempersiapkan
hidangan bersama minuman. Tante Ani membawa kacang mente asin, segelas wine
merah, dan 1 gelas Hennessy V.S.O.P on rock (pake es batu). Setelah mengajari
aku cara bermain UNO, kamipun mulai bermain-main santai sambil makan kacang
mente. Hennesy yang aku teguk benar-benar keras, dan baru 2 atau 3 teguk
badanku terasa panas sekali. Aku biasanya hanya dikasih 1 sisip saja oleh ayah,
tapi ini skrg aku minum sendirian.
Kepalaku terasa berat, dan
mukaku panas. Melihat kejadian ini, tante Ani menjadi tertawa, dan mengatakan
bahwa aku bukan bakat peminum. Terang aja, ini baru pertama kalinya aku minum 1
gelas Hennessy sendirian.
“Tante, anterin Bernas
pulang yah. Kepala ogut rada berat.”
“Kalo gitu stop minum dulu, biar ngga tambah pusing.” jawab tante Ani.
“Kalo gitu stop minum dulu, biar ngga tambah pusing.” jawab tante Ani.
Aku merasa tante Ani
berusaha mencegahku untuk pulang ke rumah. Tapi lagi-lagi, aku seperti sapi
dicucuk hidung-nya, apa yang tante Ani minta, aku selalu menyetujuinya. Melihat
tingkahku yang suka menurut, tante Ani mulai terlihat lebih berani lagi. Dia
mengajakku main kartu biasa saja, karena bermain UNO kurang seru kalau hanya
berdua. Paling tepat untuk bermain UNO itu berempat.
Tapi permainan kartu ini
menjadi lebih seru lagi. Tante mengajak bermain blackjack, siapa yang kalah
harus menuruti permintaan pemenang. Tapi kemudian tante Ani ralat menjadi
‘Truth & Dare’ game. Permainan kami menjadi seru dan terus terang aja tante
Ani sangat menikmati permainan ‘Truth & Dare’, dan dia sportif apabila dia
kalah. Pertama-tama bila aku menang dia selalu meminta hukuman dengan ‘Truth’
punishment, lama-lama aku menjadi semakin berani menanyakan yang bukan-bukan.
Sebaliknya dengan tante Ani, dia lebih suka memaksa aku untuk memilih ‘Dare’
agar dia bisa lebih leluasa mengerjaiku. Dari yang disuruh pushup 1 tangan,
menari balerina, menelan es batu seukuran bakso, dan lain-lain. Mungkin juga
tidak ada pointnya buat tante Ani menanyakan the ‘Truth’ tentang diriku, karena
kehidupanku terlihat lurus-lurus saja menurutnya.
Ini adalah juga kesempatan
untuk menggali the ‘Truth’ tentang kehidupan pribadinya. Aku pun juga heran
kenapa aku menjadi tertarik untuk mencari tahu kehidupannya yang sangat
pribadi. Mula-mula aku bertanya tentang mantan tunangannya, kenapa sampai batal
pernikahannya. Sampai pertanyaan yang menjurus ke seks seperti misalnya kapan
pertama kali dia kehilangan keperawanan. Semuanya tanpa ragu-ragu tante Ani
jawab semua pertanyaan-pertanyaan pribadi yang aku lontarkan.
Kini permainan kami semakin
wild dan berani. Tante Ani mengusulkan untuk mengkombinasikan ‘Truth &
Dare’ dengan ‘Strip Poker’. Aku pun semakin bergairah dan menyetujui saja usul
tante Ani.
“Yee, tante menang lagi.
Ayo lepas satu yang menempel di badan kamu.” kata tante Ani dengan senyum
kemenangan.
“Jangan gembira dulu tante, nanti giliran tante yang kalah. Jangan nangis loh yah kalo kalah.” jawabku sambil melepas kaus kakiku.
“Jangan gembira dulu tante, nanti giliran tante yang kalah. Jangan nangis loh yah kalo kalah.” jawabku sambil melepas kaus kakiku.
Selang beberapa lama …
“Nahhh, kalah lagi … kalah lagi … lepas lagi … lepas lagi.”. Tante Ani
kelihatan gembira sekali. Kemudian aku melepas kalung emas pemberian ibu yang
aku kenakan.
“Ha ha ha … two pairs,
punya tante one pair. Yes yes … tante kalah sekarang. Ayo lepas lepas …”
candaku sambil tertawa gembira.
“Jangan gembira dulu. Tante lepas anting tante.” jawab tante sambil melepas anting-anting yang dikenakannya.
“Jangan gembira dulu. Tante lepas anting tante.” jawab tante sambil melepas anting-anting yang dikenakannya.
Aku makin bernapsu untuk
bermain. Mungkin bernapsu untuk melihat tante Ani bugil juga. Aku pengen sekali
menang terus.
“Full house … yeahhh …
kalah lagi tante. Ayo lepas … ayo lepas …”. Aku kini menari-nari gembira.
Terlihat tante Ani melepas jepit rambut merahnya, dan aku segera saja protes “Loh, curang kok lepas yang itu?”.
“Loh, kan peraturannya lepas semuanya yang menempel di tubuh. Jepit tante kan nempel di rambut dan rambut tante melekat di kepala. Jadi masih dianggap menempel dong.” jawabnya membela.
Terlihat tante Ani melepas jepit rambut merahnya, dan aku segera saja protes “Loh, curang kok lepas yang itu?”.
“Loh, kan peraturannya lepas semuanya yang menempel di tubuh. Jepit tante kan nempel di rambut dan rambut tante melekat di kepala. Jadi masih dianggap menempel dong.” jawabnya membela.
Aku rada gondok mendengar
pembelaan tante Ani. Tapi itu menjadikan darahku bergejolak lebih deras lagi.
“Straight … Bernas … One
Pair … Yes tante menang. Ayo lepas! Jangan malu-malu!” seru tante Ani girang.
Aku pun segera melepas jaket aku yang kenakan. Untung aku selalu memakai jaket
tipis biar keluar malam. Lihatlah pembalasanku, kataku dalam hati.
“Bernas Three kind … tante
… one pair … ahhh … lagi-lagi tante kalah” sindirku sambil tersenyum. Dan tanpa
diberi aba-aba dan tanpa malu-malu, tante melepas baju atasannya. Aku serentak
menelan ludah, karena baju atasan tante telah terlepas dan kini yang terlihat
hanya BH putih tante. Belahan payudara-nya terlihat jelas, putih bersih. Bernas
junior dengan serentak langsung menegang, dan kedua mataku terpaku di daerah
belahan dadanya.
“Hey, lihat kartu dong.
Jangan liat di sini.” canda tante sambil menunjuk belahan dadanya. Aku kaget
sambil tersenyum malu.
“Yes Full House, kali ini
tante menang. Ayo buka … buka”. Tampak tante Ani girang banget bisa dia menang.
Kali ini aku lepas atasanku, dan kini aku terlanjang dada.
“Ck ck ck … pemain basket nih. Badan kekar dan hebat. Coba buktikan kalo hokinya juga hebat.” sindir tante Ani sambil tersenyum.
Setelah menegak habis wine yang ada di gelasnya, tante Ani kemudian beranjak dari tempat duduknya menuju ke dapur dengan keadaan dada setengah terlanjang. Tak lama kemudian tante Ani membawa sebotol wine merah yang masih 3/4 penuh dan sebotol V.S.O.P yang masih 1/2 penuh.
“Mari kita bergembira malam ini. Minum sepuas-puasnya.” ucap tante Ani.
Kami saling ber-tos ria dan kemudian melanjutkan kembali permainan strip poker kami.
“Ck ck ck … pemain basket nih. Badan kekar dan hebat. Coba buktikan kalo hokinya juga hebat.” sindir tante Ani sambil tersenyum.
Setelah menegak habis wine yang ada di gelasnya, tante Ani kemudian beranjak dari tempat duduknya menuju ke dapur dengan keadaan dada setengah terlanjang. Tak lama kemudian tante Ani membawa sebotol wine merah yang masih 3/4 penuh dan sebotol V.S.O.P yang masih 1/2 penuh.
“Mari kita bergembira malam ini. Minum sepuas-puasnya.” ucap tante Ani.
Kami saling ber-tos ria dan kemudian melanjutkan kembali permainan strip poker kami.
“Yesss … ” seruku dengan
girangnya pertanda aku menang lagi.
Tanpa disuruh, tante Ani melepas rok mininya dan aduhaiii, kali ini tante Ani hanya terliat mengenakan BH dan celana dalam saja. Malam itu dia mengenakan celana dalam yang kecil imut berwarna pink cerah. Tidak tampak ada bulu-bulu pubis disekitar selangkangannya. Aku sempat berpikir apakah tante Ani mencukur semua bulu-bulu pubisnya.
Tanpa disuruh, tante Ani melepas rok mininya dan aduhaiii, kali ini tante Ani hanya terliat mengenakan BH dan celana dalam saja. Malam itu dia mengenakan celana dalam yang kecil imut berwarna pink cerah. Tidak tampak ada bulu-bulu pubis disekitar selangkangannya. Aku sempat berpikir apakah tante Ani mencukur semua bulu-bulu pubisnya.
Muka tante Ani sedikit
memerah. Kulihat tante Ani sudah menegak abis gelas winenya yang kedua. Apakah dia
berniat untuk mabuk malam ini? Aku kurang sedikit perduli dengan hal itu. Aku
hanya bernafsu untuk memenangkan permainan strip poker ini, agar aku bisa
melihat tubuh terlanjang tante Ani.
“Yes, yes, yes …” senyum
kemenangan terlukis indah di wajahku.
Tante Ani kemudian
memandangkan wajahku selang beberapa saat, dan berkata dengan nada genitnya
“Sekarang Bernas tahan napas yah. Jangan sampai seperti kesetrum listrik loh”.
Kali ini tante Ani melepaskan BH-nya dan serentak jatungku ingin copot. Benar
apa kata tante Ani, aku seperti terkena setrum listrik bertegangan tinggi.
Dadaku sesak, sulit bernapas, dan jantungku berdegup kencang. Inilah pertama
kali aku melihat payudara wanita dewasa secara jelas di depan mata. Payudara
tante Ani sungguh indah dengan putingnya yang berwarna coklat muda menantang.
“Aih Bernas, ngapain liat
susu tante terus. Tante masih belum kalah total. Mau lanjut ngga?” tanya tante
Ani. Aku hanya bisa menganggukkan kepala pertanda ‘iya’.
“Pertama kali liat susu cewek yah? Ketahuan nih. Dasar genit kamu.” tambah tante Ani lagi. Aku sekali lagi hanya bisa mengangguk malu.
“Pertama kali liat susu cewek yah? Ketahuan nih. Dasar genit kamu.” tambah tante Ani lagi. Aku sekali lagi hanya bisa mengangguk malu.
Aku menjadi tidak
berkonsentrasi bermain, mataku sering kali melirik kedua payudaranya dan
selangkangannya. Aku penasaran sekali ada apa dibalik celana dalam pinknya itu.
Tempat di mana menurut teman-teman sekolah adalah surga dunia para lelaki. Aku
ingin sekali melihat bentuknya dan kalo bisa memegang atau meraba-raba.
Akibat tidak berkonsentrasi
main, kali ini aku yang kalah, dan tante Ani meminta aku melepas celana yang
aku kenakan. Kini aku terlanjang dada dengan hanya mengenakan celana dalam
saja. Tante Ani hanya tersenyum-senyum saja sambil menegak wine-nya lagi. Aku
sengaja menolak tawaran tante Ani untuk menegak V.S.O.P-nya, dengan alasan
takut pusing lagi.
Karena kami berdua hanya
tinggal 1 helai saja di tubuh kami, permainan kali ini ada finalnya. Babak
penentuan apakah tante Ani akan melihat aku terlanjang bulat atau sebaliknya.
Aku berharap malam itu malaikat keberuntungan berpihak kepadaku.
Ternyata harapanku sirna,
karena ternyata malaikat keberuntungan berpihak kepada tante Ani. Aku kecewa
sekali, dan wajah kekecewaanku terbaca jelas oleh tante Ani. Sewaktu aku akan
melepas celana dalamku dengan malu-malu, tiba-tiba tante Ani mencegahnya.
“Tunggu Bernas. Tante ngga mau celana dalam mu dulu. Tante mau Dare Bernas dulu. Ngga seru kalo game-nya cepat habis kayak begini” kata tante Ani.
Setelah meneguk wine-nya lagi, tante Ani terdiam sejenak kemudian tersenyum genit. Senyum genitnya ini lebih menantang daripada yang sebelum-sebelumnya.
“Tante dare Bernas untuk … hmmm … cium bibir tante sekarang.” tantang tante Ani.
“Ahh, yang bener tante?” tanyaku.
“Iya bener, kenapa ngga mau? Jijik ama tante?” tanya tante Ani.
“Bukan karena itu. Tapi … Bernas belum pernah soalnya.” jawabku malu-malu.
“Iya udah, kalo gitu cium tante dong. Sekalian pelajaran pertama buat Bernas.” kata tante Ani.
“Tunggu Bernas. Tante ngga mau celana dalam mu dulu. Tante mau Dare Bernas dulu. Ngga seru kalo game-nya cepat habis kayak begini” kata tante Ani.
Setelah meneguk wine-nya lagi, tante Ani terdiam sejenak kemudian tersenyum genit. Senyum genitnya ini lebih menantang daripada yang sebelum-sebelumnya.
“Tante dare Bernas untuk … hmmm … cium bibir tante sekarang.” tantang tante Ani.
“Ahh, yang bener tante?” tanyaku.
“Iya bener, kenapa ngga mau? Jijik ama tante?” tanya tante Ani.
“Bukan karena itu. Tapi … Bernas belum pernah soalnya.” jawabku malu-malu.
“Iya udah, kalo gitu cium tante dong. Sekalian pelajaran pertama buat Bernas.” kata tante Ani.
Tanpa berpikir ulang, aku
mulai mendekatkan wajahku ke wajah tante Ani. Tante Ani kemudian memejamkan
matanya. Pertamanya aku hanya menempelkan bibirku ke bibir tante Ani. Tante Ani
diam sebentar, tak lama kemudian bibirnya mulai melumat-lumat bibirku
perlahan-lahan. Aku mulai merasakan bibirku mulai basah oleh air liur tante
Ani. Bau wine merah sempat tercium di hidungku.
Aku pun tidak mau kalah,
aku berusaha menandinginya dengan membalas lumatan bibir tante Ani. Maklum ini
baru pertama, jadi aku terkesan seperti anak kecil yang sedang melumat-lumat
ice cream. Selang beberapa saat, aku kaget dengan tingkah baru tante Ani. Tante
Ani dengan serentak menjulurkan lidahnya masuk ke dalam mulutku. Anehnya aku
tidak merasa jijik sama sekali, malah senang dibuatnya. Aku temukan lidahku
dengan lidah tante Ani, dan kini lidah kami kemudian saling berperang di dalam
mulutku dan terkadang pula di dalam mulut tante Ani.
Kami saling berciuman bibir
dan lidah kurang lebih 5 menit lamanya. Nafasku sudah tak karuan, dah kupingku
panas dibuatnya. Tante Ani seakan-akan menikmati betul ciuman ini. Nafas tante
Ani pun masih teratur, tidak ada tanda sedikitpun kalau dia tersangsang.
“Sudah cukup dulu. Ayo kita
sambung lagi pokernya” ajak tante Ani.
Aku pun mulai mengocok
kartunya, dan pikiranku masih terbayang saat kita berciuman. Aku ingin sekali
lagi mencium bibir lembutnya. Kali ini aku menang, dan terang saja aku meminta
jatah sekali lagi berciuman dengannya. Tante Ani menurut saja dengan
permintaanku ini, dan kami pun saling berciuman lagi. Tapi kali ini hanya
sekitar 2 atau 3 menit saja.
“Udah ah, jangan ciuman
terus dong. Ntar Bernas bosan ama tante.” candanya.
“Masih belon bosan tante. Ternyata asyik juga yah ciuman.” jawabku.
“Kalo ciuman terus kurang asyik, kalo mau sih …” seru tante Ani kemudian terputus. Kalimat tante Ani ini masih menggantung bagiku, seakan-akan dia ingin mengatakan sesuatu yang menurutku sangat penting. Aku terbayang-bayang untuk bermain ‘gila’ dengan tante Ani malam itu.
“Masih belon bosan tante. Ternyata asyik juga yah ciuman.” jawabku.
“Kalo ciuman terus kurang asyik, kalo mau sih …” seru tante Ani kemudian terputus. Kalimat tante Ani ini masih menggantung bagiku, seakan-akan dia ingin mengatakan sesuatu yang menurutku sangat penting. Aku terbayang-bayang untuk bermain ‘gila’ dengan tante Ani malam itu.
Aku semakin berani dan
menjadi sedikit tidak tau diri. Aku punya perasaan kalo tante Ani sengaja untuk
mengalah dalam bermain poker malam itu. Terang aja aku menang lagi kali ini.
Aku sudah terburu oleh napsuku sendiri, dan aku sangat memanfaatkan situasi
yang sedang berlangsung.
“Bernas menang lagi tuh.
Jangan minta ciuman lagi yah. Yang lain dong …” sambut tante Ani sambil
menggoda.
“Hmm … apa yah.” pikirku sejenak.
“Gini aja, Bernas pengen emut-emut susu tante Ani.” jawabku tidak tau malu.
“Hmm … apa yah.” pikirku sejenak.
“Gini aja, Bernas pengen emut-emut susu tante Ani.” jawabku tidak tau malu.
Ternyata wajah tante Ani
tidak tampak kaget atau marah, malah balik tersenyum kepadaku sambil berkata
“Sudah tante tebak apa yang ada di dalam pikiran kamu, Bernas.”.
“Boleh kan tante?!” tanyaku penasaran. Tante Ani hanya mengangguk pertanda setuju.
“Boleh kan tante?!” tanyaku penasaran. Tante Ani hanya mengangguk pertanda setuju.
Kemudian aku dekatkan
wajahku ke payudara sebelah kanan tante Ani. Bau parfum harum yang menempel di
tubuhnya tercium jelas di hidungku. Tanpa ragu-ragu aku mulai mengulum puting
susu tante Ani dengan lembut. Kedua telapak tanganku berpijak mantap di atas
karpet ruang tamu tante Ani, memberikan fondasi kuat agar wajahku tetap bebas
menelusuri payudara tante Ani. AKu kulum bergantian puting kanan dan puting
kiri-nya. Kuluman yang tante Ani dapatkan dariku memberikan sensasi terhadap
tubuh tante Ani. Dia tampak menikmati setiap hisapan-hisapan dan
jilatan-jilatan di puting susu-nya. Nafas tante Ani perlahan-lahan semakin
memburu, dan terdengar desahan dari mulutnya. Kini aku bisa memastikan bahwa
tante Ani saat ini sedang terangsang atau istilah modern-nya ‘horny’.
“Bernasss … kamu nakal
banget sih! … haahhh … Tante kamu apain?” bisik tante Ani dengan nada
terputus-putus. Aku tidak mengubris kata-kata tante Ani, tapi malah semakin
bersemangat memainkan kedua puting susunya. Tante Ani tidak memberikan
perlawanan sedikitpun, malah seolah-olah seperti memberikan lampu hijau
kepadaku untuk melakukan hal-hal yang tidak senonoh terhadap dirinya.
Aku mencoba mendorong tubuh
tante Ani perlahan-lahan agar dia terbaring di atas karpet. Ternyata tante Ani
tidak menahan/menolak, bahkan tante Ani hanya pasrah saja. Setelah tubuhnya
terbaring di atas karpet, aku menghentikan serangan gerilyaku terhadap payudara
tante Ani. Aku perlahan-lahan menciumi leher tante Ani, dan oh my, wangi betul
leher tante Ani. Tante Ani memejamkan kedua matanya, dan tidak
berhenti-hentinya mendesah. Aku jilat lembut kedua telinganya, memberikan
sensasi dan getaran yang berbeda terhadap tubuhnya. Aku tidak mengerti mengapa
malam itu aku seakan-akan tau apa yang harus aku lakukan, padahal ini baru
pertama kali seumur hidupku menghadapi suasana seperti ini.
Kemudian aku melandaskan
kembali bibirku di atas bibir tante Ani, dan kami kembali berciuman mesra
sambil berperang lidah di dalam mulutku dan terkadang di dalam mulut tante Ani.
Tanganku tidak tinggal diam. Telapak tangan kiriku menjadi bantal untuk kepala
belakang tante Ani, sedangkan tangan kananku meremas-remas payudara kiri tante
Ani.
Tubuh tante Ani seperti
cacing kepanasan. Nafasnya terengah-engah, dan dia tidak berkonsentrasi lagi
berciuman denganku. Tanpa diberi komando, tante Ani tiba-tiba melepas celana
dalamnya sendiri. Mungkin saking ‘horny’-nya, otak tante Ani memberikan
instinct bawah sadar kepadanya untuk segera melepas celana dalamnya.
Aku ingin sekali melihat
kemaluan tante Ani saat itu, namun tante Ani tiba-tiba menarik tangan kananku
untuk mendarat di kemaluannya.
“Alamak …”, pikirku kaget. Ternyata kemaluan/memek tante Ani mulus sekali. Ternyata semua bulu jembut tante Ani dicukur abis olehnya. Dia menuntun jari tengahku untuk memainkan daging mungil yang menonjol di memeknya. Para pembaca pasti tau nama daging mungil ini yang aku maksudkan itu. Secara umum daging mungil itu dinamakan biji etil atau biji etel atau itil saja. Aku putar-putar itil tante Ani berotasi searah jarum jam atau berlawanan arah jarum jam. Kini memek tante Ani mulai basah dan licin.
“Alamak …”, pikirku kaget. Ternyata kemaluan/memek tante Ani mulus sekali. Ternyata semua bulu jembut tante Ani dicukur abis olehnya. Dia menuntun jari tengahku untuk memainkan daging mungil yang menonjol di memeknya. Para pembaca pasti tau nama daging mungil ini yang aku maksudkan itu. Secara umum daging mungil itu dinamakan biji etil atau biji etel atau itil saja. Aku putar-putar itil tante Ani berotasi searah jarum jam atau berlawanan arah jarum jam. Kini memek tante Ani mulai basah dan licin.
“Bernasss … kamu yah …
aaahhhh … kok berani ama tante?” tanya tante Ani terengah-engah.
“Kan tante yang suruh tangan Bernas ke sini?” jawabku.
“Masa sihhh … tante lupa … aahhh Bernasss … Bernasss … kamu kok nakal?” tanya tante Ani lagi.
“Nakal tapi tante bakal suka kan?” candaku gemas dengan tingkah tante Ani.
“Iyaaa … nakalin tante pleasee …” suara tante Ani mulai serak-serak basah.
“Kan tante yang suruh tangan Bernas ke sini?” jawabku.
“Masa sihhh … tante lupa … aahhh Bernasss … Bernasss … kamu kok nakal?” tanya tante Ani lagi.
“Nakal tapi tante bakal suka kan?” candaku gemas dengan tingkah tante Ani.
“Iyaaa … nakalin tante pleasee …” suara tante Ani mulai serak-serak basah.
Aku tetap memainkan itil
tante Ani, dan ini membuatnya semakin menggeliat hebat. Tak lama kemudian tante
Ani menjerit kencang seakaan-akan terjadi gempa bumi saja. Tubuhnya mengejang
dan kuku-kuku jarinya sempat mencakar bahuku. Untung saja tante Ani bukan tipe
wanita yang suka merawat kuku panjang, jadi cakaran tante Ani tidak sakit
buatku.
“Bernasss … tante datangggg
uhhh oohhh …” erang tante Ani. Aku yang masih hijau waktu itu kurang mengerti
apa arti kata ‘datang’ waktu itu. Yang pasti setelah mengatakan kalimat itu,
tubuh tante Ani lemas dan nafasnya terengah-engah.
Dengan tanpa di beri
aba-aba, aku lepas celana dalamku yang masih saja menempel. Aku sudah lupa
sejak kapan batang penisku tegak. Aku siap menikmati tubuh tante Ani, tapi
sedikit ragu, karena takut akan ditolak oleh tante Ani. Keragu-raguanku ini
terbaca oleh tante Ani. Dengan lembutnya tante Ani berkata, “Bernas, kalo
pengen tidurin tante, mendingan cepetan deh, sebelon gairah tante habis. Tuh
liat kontol Bernas dah tegak kayak besi. Sini tante pegang apa dah panas.”.
Aku berusaha mengambil
posisi diatas tubuh tante. Gaya bercinta traditional. Perlahan-lahan kuarahkan
batang penisku ke mulut vagina tante Ani, dan kucoba dorong penisku
perlahan-lahan. Ternyata tidak sulit menembus pintu kenikmatan milik tante Ani.
Selain mungkin karena basahnya dinding-dinding memek tante Ani yang memuluskan
jalan masuk penisku, juga karena mungkin sudah beberapa batang penis yang telah
masuk di dalam sana.
“Uhhh … ohhh … Bernasss …
ahhh …” desah tante Ani.
Aku coba mengocok-kocok memek tante Ani dengan penisku dengan memaju-mundurkan pinggulku. Tante Ani terlihat semakin ‘horny’, dan mendesah tak karuan.
“Bernasss … Bernasss … aduhhh Bernasss … geliiii tante … uhhh … ohhhh …” desah tante Ani.
Di saat aku sedang asyik memacu tubuh tante Ani, tiba-tiba aku disadarkan oleh permintaan tante Ani, sehingga aku berhenti sejenak.
“Bernasss … kamu dah mau keluar belum … ” tanya tante Ani.
“Belon sih tante … mungkin beberapa saat lagi … ” jawabku serius.
“Nanti dikeluarin di luar yah, jangan di dalam. Tante mungkin lagi subur sekarang, dan tante lupa suruh kamu pake pengaman. Lagian tante ngga punya stock pengaman sekarang. Jadi jangan dikeluarin di dalam yah.” pinta tante Ani.
“Beres tante.” jawabku.
“Ok deh … sekarang jangan diam … goyangin lagi dong …” canda tante Ani genit.
Aku coba mengocok-kocok memek tante Ani dengan penisku dengan memaju-mundurkan pinggulku. Tante Ani terlihat semakin ‘horny’, dan mendesah tak karuan.
“Bernasss … Bernasss … aduhhh Bernasss … geliiii tante … uhhh … ohhhh …” desah tante Ani.
Di saat aku sedang asyik memacu tubuh tante Ani, tiba-tiba aku disadarkan oleh permintaan tante Ani, sehingga aku berhenti sejenak.
“Bernasss … kamu dah mau keluar belum … ” tanya tante Ani.
“Belon sih tante … mungkin beberapa saat lagi … ” jawabku serius.
“Nanti dikeluarin di luar yah, jangan di dalam. Tante mungkin lagi subur sekarang, dan tante lupa suruh kamu pake pengaman. Lagian tante ngga punya stock pengaman sekarang. Jadi jangan dikeluarin di dalam yah.” pinta tante Ani.
“Beres tante.” jawabku.
“Ok deh … sekarang jangan diam … goyangin lagi dong …” canda tante Ani genit.
Tanpa menunda banyak waktu
lagi, aku lanjutkan kembali permainan kami. Aku bisa merasakan memek tante Ani
semakin basah saja, dan aku pun bisa melihat bercak-bercak lendir putih di
sekitar bulu jembutku.
Aku mulai berkeringat di
punggung belakangku. Muka dan telingaku panas. Tante Ani pun juga sama. Suara
erangan dan desahan-nya makin terdengar panas saja di telingaku. Aku tidak
menyadari bahwa aku sudah berpacu dengan tante Ani 20 menit lama-nya.
Tanda-tanda akan adanya sesuatu yang bakalan keluar dari penisku semakin
mendekat saja.
“Bernasss … ampunnn
Bernasss … kontolnya kok kayak besi aja … ngga ada lemasnya dari tadi … tante
geliii banget nihhh …” kata tante Ani.
“Tante … Bernasss dah sampai ujung nih …” kataku sambil mempercepat goyangan pinggulku.
“Tante … Bernasss dah sampai ujung nih …” kataku sambil mempercepat goyangan pinggulku.
Puting tante Ani semakin
terlihat mencuat menantang, dan kedua payudara pun terlihat mengeras. Aku
mendekatkan wajahku ke wajah tante Ani, dan bibir kami saling berciuman. Aku
julur-julurkan lidahku ke dalam mulutnya, dan lidah kami saling berperang di
dalam. Posisi bercinta kami tidak berubah sejak tadi. Posisiku tetap di atas
tubuh tante Ani.
Aku percepat kocokan
penisku di dalam memek tante Ani. Tante Ani sudah menjerit-jerit dan meracau
tak karuan saja.
“Bernasss … tante datangggg
… uhhh … ahhhhhh …” jerit tante Ani sambil memeluk erat tubuhku. Ini pertanda
tante Ani telah ‘orgasme’.
Aku pun juga sama, lahar
panas dari dalam penisku sudah siap akan menyembur keluar. Aku masih ingat
pesan tante Ani agar spermaku dilepas keluar dari memek tante Ani.
“Tante … Bernassss
datangggg …” jeritku panik. Kutarik penisku dari dalam memek tante Ani, dan
penisku memuncratkan spermanya di perut tante Ani. Saking kencangnya, semburan
spermaku sampai di dada dan leher tante Ani.
“Ahhh … ahhhh … ahhhh …”
suara jeritan kepuasanku.
“Idihhh … kamu kecil-kecil tapi spermanya banyak bangettt sih …” canda tante Ani. Aku hanya tersenyum saja. Aku tidak sempat mengomentari candaan tante Ani.
“Idihhh … kamu kecil-kecil tapi spermanya banyak bangettt sih …” canda tante Ani. Aku hanya tersenyum saja. Aku tidak sempat mengomentari candaan tante Ani.
Setelah semua sperma telah
tumpah keluar, aku merebahkan tubuhku di samping tubuh tante Ani. Kepalaku
masih teriang-iang dan nafasku masih belum stabil. Mataku melihat ke
langit-langit apartment tante Ani. Aku baru saja menikmati yang namanya surga
dunia.
Tante Ani kemudian
memelukku manja dengan posisi kepalanya di atas dadaku. Bau harum rambutku
tercium oleh hidungku.
“Bernas puas ngga?” tanya
tante Ani.
“Bukan puas lagi tante … tapi Bernas seperti baru saja masuk ke surga” jawabku.
“Emang memek tante surga yah?” canda tante Ani.
“Boleh dikata demikian.” jawabku percaya diri.
“Kalo tante puas ngga?” tanyaku penasaran.
“Hmmm … coba kamu pikir sendiri aja … yang pasti memek tante sekarang ini masih berdenyut-denyut rasanya. Diapain emang ama Bernas?” tanya tante Ani manja.
“Anuu … Bernas kasih si Bernas Junior … tuh tante liat jembut Bernas banyak bercak-bercak lendir. Itu punya dari memek tante tuh. Banjir keluar tadi.” kataku.
“Idihhh … mana mungkin …” bela tante Ani sambil mencubit penisku yang sudah mulai loyo.
“Bukan puas lagi tante … tapi Bernas seperti baru saja masuk ke surga” jawabku.
“Emang memek tante surga yah?” canda tante Ani.
“Boleh dikata demikian.” jawabku percaya diri.
“Kalo tante puas ngga?” tanyaku penasaran.
“Hmmm … coba kamu pikir sendiri aja … yang pasti memek tante sekarang ini masih berdenyut-denyut rasanya. Diapain emang ama Bernas?” tanya tante Ani manja.
“Anuu … Bernas kasih si Bernas Junior … tuh tante liat jembut Bernas banyak bercak-bercak lendir. Itu punya dari memek tante tuh. Banjir keluar tadi.” kataku.
“Idihhh … mana mungkin …” bela tante Ani sambil mencubit penisku yang sudah mulai loyo.
“Bernas sering-sering
datang ke rumah tante aja. Nanti kita main poker lagi. Mau kan?” pinta tante
Ani.
“Sippp tante.” jawabku serentak girang.
“Sippp tante.” jawabku serentak girang.
Malam itu aku nginap di
rumah tante Ani. Keesokan harinya aku langsung pulang ke rumah. Aku sempat
minta jatah 1 kali lagi dengan tante Ani, namum ajakanku ditolak halus olehnya
karena alasan dia ada janji dengan teman-temannya.
Sejak saat itu aku menjadi
teman seks gelap tante Ani tanpa sepengetahuan orang lain terutama ayah dan
ibu. Tante Ani senang bercinta yang bervariasi dan dengan lokasi yang
bervariasi pula selain apartementnya sendiri. Kadang bermain di mobilnya, di
motel kilat yang hitungan charge-nya per jam, di ruang VIP spa kecantikan ibuku
(ini aku berusaha keras untuk menyelinap agar tidak diketahui oleh para pegawai
di sana). Tante Ani sangat menyukai dan menikmati seks. Menurut tante Ani seks
dapat membuatnya merasa enak secara jasmani dan rohani, belum lagi seks yang
teratur sangatlah baik untuk kesehatan. Dia pernah menceritakan kepadaku
tentang rahasia awet muda bintang film Hollywood tersohor bernama Elizabeth
Taylor, yah jawabannya hanya singkat saja yaitu seks dan diet yang teratur.
Tante Ani paling suka
‘bermain’ tanpa kondom. Tapi dia pun juga tidak ingin memakai sistem pil
sebagai alat kontrasepsi karena dia sempat alergi saat pertama mencoba minum
pil kontrasepsi. Jadi di saat subur, aku diharuskan memakai kondom. Di saat
setelah selesai masa menstruasinya, ini adalah saat di mana kondom boleh
dilupakan untuk sementara dulu dan aku bisa sepuasnya berejakulasi di dalam
memeknya. Apabila di saat subur dan aku/tante Ani lupa menyetok kondom, kita
masih saja nekat bermain tanpa kondom dengan berejakulasi di luar (meskipun ini
rawan kehamilannya tinggi juga).
Hubungan gelap ini sempat
berjalan hampir 4 tahun lamanya. Aku sempat memiliki perasaan cinta terhadap
tante Ani. Maklum aku masih tergolong remaja/pemuda yang gampang terbawa emosi.
Namun tante Ani menolaknya dengan halus karena apabila hubunganku dan tante Ani
bertambah serius, banyak pihak luar yang akan mencaci-maki atau mengutuk kami.
Tante Ani sempat menjauhkan diri setelah aku mengatakan cinta padanya sampai
aku benar-benar ‘move on’ dari-nya. Aku lumayan patah hati waktu itu (hampir
1.5 tahun), tapi aku masih memiliki akal sehat yang mengontrol perasaan sakit
hatiku. Saat itu pula aku cuti ‘bermain’ dengan tante Ani.
Saat
ini aku masih berhubungan baik dengan tante Ani. Kami kadang-kadang
menyempatkan diri untuk ‘bermain’ 2 minggu sekali atau kadang-kadang 1 bulan
sekali. Tergantung dari mood kami masing-masing. Tante Ani sampai sekarang
masih single. Aku untuk sementara ini juga masih single. Aku putus dengan
pacarku sekitar 6 bulan yang lalu. Sejak putus dengan pacarku, tante Ani sempat
menjadi pelarianku, terutama pelarian seks. Sebenarnya ini tidak benar dan
kasihan tante Ani, namun tante Ani seperti mengerti tingkah laku lelaki yang
sedang patah hati pasti akan mencari seorang pelarian. Jadi tante Ani tidak
pernah merasa bahwa dia adalah pelarianku, tapi sebagai seorang teman yang
ingin membantu meringkankan beban perasaan temannya
My account, the player that I need - YouTube - Videodl.cc
BalasHapusIf you want to play poker youtube to mp3 on your cell phone, you can connect to a friend's computer or phone by using the link in the player's profile. YouTube - Videos